Selasa, 30 Juli 2013

Melayani Pasien Kelas Tiga

Mat 25:45, "Then He will answer them, saying, 'Assuredly, I say to you, inasmuch as you did not do [it] to one of the least of these, you did not do [it] to Me.'


Melayani pasien berkelas, yang mampu membayar segala-galanya dengan lebih mahal, yang datang berobat tanpa kartu-kartu sakti, pastilah lebih menyenangkan bukan? Kita dapat ganti jasa yang sama dengan apa yang kita berikan kepada mereka.

Tapi, di saat yang kita hadapi pasien yang datang dengan "kartu sakti" atau malah tanpa jaminan apa-apa tapi tidak bisa membayar, apa yang kita pikirkan?

Bukan sekali dua kali saya menghadapi sendiri di depan saya, ketika pasien-pasien yang tidak mampu diperlakukan secara berbeda oleh para petugas medis dan paramedis yang merawatnya. Makanya sering ada kesan "Dokter dan perawat kalau di kelas tiga galak-galak." Bayangkan dong, saya aja yang hanya kebetulan berdiri dekat mereka merasa koq ini dokter/ perawat galak banget ya? Apalagi mereka yang mengalami sendiri.

Selama menjalani masa kepaniteraan klinik, ada satu hal yang selalu saya tanamkan di hati, sebuah ayat Alkitab pegangan saya "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku"


Bayangkan, mereka yang di kelas tiga itu SEMUA nya saudara-saudarinya Tuhan Yesus. Kalau kita semua berpikir seperti itu, pastilah sikap kita akan sangat berbeda. Ya kan? Kalau kita merawat saudara kita sendiri saja pasti dengan sepenuh hati, dengan tulus, dengan sebaik-baiknya, apalagi kalau saudara-Nya Tuhan Yesus? Tidakkah kita ingin melayaninya lebih baik?

Yesus bisa hadir di mana saja dan menjadi siapa saja, tapi saya percaya Yesus tidak akan mengambil rupa seorang kaya, yang pasti memang akan dilayani dengan baik. Ia akan mengambil rupa seorang hamba.

Saya hanya membayangkan, barangkali dari sekian puluh pasien di bangsal kelas tiga, pasien yang tak mampu itu, barangkali ada Yesus satu diantaranya. Kita tidak pernah tahu, bukan? Jadi kita hanya selalu bisa bersiap-siap dan selalu melayani dengan baik. 

Saya tahu, dokter juga manusia. Dokter juga sebuah pekerjaan. Tapi satu hal, "Carilah dulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka segalanya akan ditambahkan kepadamu." Masih percaya janji itu kan? Tuhan tidak akan membiarkan kita kekurangan, tapi setialah dulu pada perkara-perkara Kerajaannya.


Kenapa harus memberikan pelayanan berbeda kepada mereka yang tidak mampu membayar mahal? Bukankah senyum kita itu gratis? Jadi kenapa harus berat membagikannya kepada mereka di kelas tiga? Senyum kita kan harganya sama di kelas VIP ataupun di kelas tiga. Sama-sama gratis. Jadi, kenapa berat hati untuk tersenyum dan malah memasang wajah jutek? 



Sapaan kita juga seharusnya tidak berbeda kepada pasien kelas VIP dan pasien kelas tiga. Toh sapaan kita gratis koq. Kita nggak perlu keluar biaya buat menyapa mereka. Jadi kenapa harus bicara dengan nada ketus kalau dengan bahasa lembut kita bisa memberikannya secara gratis? Ingat, jangan bangga cuma pakai snelli putih kemana-mana, kalungin stetoskop, naroh penlight di saku atas terus jalan sambil dagu diangkat. Awas, kalau jatuh, nanti ditertawakan, bukan malah dibantu. Turunkan ego, jalan sambil senyum ke keluarga pasien.


Sepanjang saya menjalani kepaniteraan, ketika ditempatkan di daerah luar Jakarta, saya lebih senang kalau harus follow up di ruangan kelas tiga. Kenapa? Mereka lebih menghargai kedatangan saya buat mereka. Saya senang disambut dengan senyum ramah mereka. Walaupun malamnya lelah sehabis jaga, tapi kalau ketemu pasien dan dikasih senyum, rasanya semua lelah berlalu begitu saja. Saya lebih merasa ada artinya di hadapan mereka. Tidak semua pasien kelas satu atau pasien VIP terkesan sombong bahkan ada yang terang-terangan "tidak mau dipegang koass" itu hak mereka. Saya pernah koq bisa menghabiskan waktu follow up cukup lama di ruang kelas satu karena asyik bertukar cerita dengan seorang pasien di sana. Salah satu pasien yang meninggalkan kesan mendalam semasa saya menjadi koasisten. Tapi tetap saja begitu berbeda rasanya kalau ada di ruang kelas tiga.


Pacar saya (ceile pacar) pernah bilang "Menolong orang di desa-desa, orang yang nggak mampu, itu seribu kali lebih membahagiakan. Melihat senyum mereka kalau mereka sudah membaik, mendengar mereka mengucapkan terima kasih sambil menyalami tangan kita, itu gak terbeli dengan apapun. Rasanya kita tuh dibutuhkan banget..."
Saya bangga loh punya pacar yang bisa ngomong seperti ini. Setidaknya saya tahu bahwa kami satu visi ke depan atau setidaknya, saya punya seseorang yang akan selalu mengingatkan saya kalau saya mulai lupa dengan panggilan hidup saya.

Soal biaya, perkara pasien mampu bayar atau tidak bayar dan perkara pasien datang dengan latar belakang apapun, biarlah itu menjadi perkara yang lain, bukan hal yang membuat kita tidak bisa memberikan senyum atau malah bersikap jutek dan sinis terhadap pasien. 

Kalau pasien datang ke kita setelah kondisinya parah akibat sebelumnya pergi berobat ke alternatif, maka kasihanilah mereka, jangan tambah dipojokkan. Jangan disalah-salahkan. Kita boleh menyesali adanya pengobatan alternatif yang malah memperburuk pasien, tapi jangan lagi tambah beban pasien. Selama kita sudah memberikan edukasi yang baik, apapun pilihan pengobatan pasien, itu sepenuhnya hak mereka. Ketika mereka datang ke kita, lihatlah mereka sebagai seorang yang butuh bantuan, butuh pertolongan, bukan butuh ceramah tetek bengek kita soal "kesalahan pengobatan alternatif". Dengan mereka datang ke kita, mereka sebenarnya sudah sadar bahwa mereka sudah salah makanya kembali ke kita. Nah, sudah, jangan tambah disalahkan lagi. Kasih senyum, terima dengan baik dan layani tetap dengan sepenuh hati. 

Yang jelas, lakukanlah bagian kita dengan setia. Berikanlah pelayanan yang sama kepada pasien kelas berapapun. Mereka sama menderitanya dengan pasien di ruangan VIP. Soal lain-lain boleh berbeda, tapi senyum dan sapa hangat kita harus tetap sama. Kalau di kelas VIP senyum tiga sentimeter, maka di kelas tiga juga harus tiga sentimeter.

Kalaupun kita lantas tidak jadi kaya raya, minimal kita berkecukupan. Minimal Tuhan tidak biarkan kita kekurangan. Tapi ya, kalau orang yang mampu bersikap baik kepada sesiapapun, rasanya selalu kelak akan banyak yang balik membantu. Apa yang kita tanam, itu juga yang kita tuai, bukan?


Besok, masuk ruang kelas tiga, jangan lupa senyum sambil bilang, "Selamat pagi, Pak!" sambil menepuk lengannya dengan penuh kasih yaa....Selamat melayani dan Tuhan berkati!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar