Selasa, 30 Juli 2013

Melayani Pasien Kelas Tiga

Mat 25:45, "Then He will answer them, saying, 'Assuredly, I say to you, inasmuch as you did not do [it] to one of the least of these, you did not do [it] to Me.'


Melayani pasien berkelas, yang mampu membayar segala-galanya dengan lebih mahal, yang datang berobat tanpa kartu-kartu sakti, pastilah lebih menyenangkan bukan? Kita dapat ganti jasa yang sama dengan apa yang kita berikan kepada mereka.

Tapi, di saat yang kita hadapi pasien yang datang dengan "kartu sakti" atau malah tanpa jaminan apa-apa tapi tidak bisa membayar, apa yang kita pikirkan?

Bukan sekali dua kali saya menghadapi sendiri di depan saya, ketika pasien-pasien yang tidak mampu diperlakukan secara berbeda oleh para petugas medis dan paramedis yang merawatnya. Makanya sering ada kesan "Dokter dan perawat kalau di kelas tiga galak-galak." Bayangkan dong, saya aja yang hanya kebetulan berdiri dekat mereka merasa koq ini dokter/ perawat galak banget ya? Apalagi mereka yang mengalami sendiri.

Selama menjalani masa kepaniteraan klinik, ada satu hal yang selalu saya tanamkan di hati, sebuah ayat Alkitab pegangan saya "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku"


Bayangkan, mereka yang di kelas tiga itu SEMUA nya saudara-saudarinya Tuhan Yesus. Kalau kita semua berpikir seperti itu, pastilah sikap kita akan sangat berbeda. Ya kan? Kalau kita merawat saudara kita sendiri saja pasti dengan sepenuh hati, dengan tulus, dengan sebaik-baiknya, apalagi kalau saudara-Nya Tuhan Yesus? Tidakkah kita ingin melayaninya lebih baik?

Yesus bisa hadir di mana saja dan menjadi siapa saja, tapi saya percaya Yesus tidak akan mengambil rupa seorang kaya, yang pasti memang akan dilayani dengan baik. Ia akan mengambil rupa seorang hamba.

Saya hanya membayangkan, barangkali dari sekian puluh pasien di bangsal kelas tiga, pasien yang tak mampu itu, barangkali ada Yesus satu diantaranya. Kita tidak pernah tahu, bukan? Jadi kita hanya selalu bisa bersiap-siap dan selalu melayani dengan baik. 

Saya tahu, dokter juga manusia. Dokter juga sebuah pekerjaan. Tapi satu hal, "Carilah dulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka segalanya akan ditambahkan kepadamu." Masih percaya janji itu kan? Tuhan tidak akan membiarkan kita kekurangan, tapi setialah dulu pada perkara-perkara Kerajaannya.


Kenapa harus memberikan pelayanan berbeda kepada mereka yang tidak mampu membayar mahal? Bukankah senyum kita itu gratis? Jadi kenapa harus berat membagikannya kepada mereka di kelas tiga? Senyum kita kan harganya sama di kelas VIP ataupun di kelas tiga. Sama-sama gratis. Jadi, kenapa berat hati untuk tersenyum dan malah memasang wajah jutek? 



Sapaan kita juga seharusnya tidak berbeda kepada pasien kelas VIP dan pasien kelas tiga. Toh sapaan kita gratis koq. Kita nggak perlu keluar biaya buat menyapa mereka. Jadi kenapa harus bicara dengan nada ketus kalau dengan bahasa lembut kita bisa memberikannya secara gratis? Ingat, jangan bangga cuma pakai snelli putih kemana-mana, kalungin stetoskop, naroh penlight di saku atas terus jalan sambil dagu diangkat. Awas, kalau jatuh, nanti ditertawakan, bukan malah dibantu. Turunkan ego, jalan sambil senyum ke keluarga pasien.


Sepanjang saya menjalani kepaniteraan, ketika ditempatkan di daerah luar Jakarta, saya lebih senang kalau harus follow up di ruangan kelas tiga. Kenapa? Mereka lebih menghargai kedatangan saya buat mereka. Saya senang disambut dengan senyum ramah mereka. Walaupun malamnya lelah sehabis jaga, tapi kalau ketemu pasien dan dikasih senyum, rasanya semua lelah berlalu begitu saja. Saya lebih merasa ada artinya di hadapan mereka. Tidak semua pasien kelas satu atau pasien VIP terkesan sombong bahkan ada yang terang-terangan "tidak mau dipegang koass" itu hak mereka. Saya pernah koq bisa menghabiskan waktu follow up cukup lama di ruang kelas satu karena asyik bertukar cerita dengan seorang pasien di sana. Salah satu pasien yang meninggalkan kesan mendalam semasa saya menjadi koasisten. Tapi tetap saja begitu berbeda rasanya kalau ada di ruang kelas tiga.


Pacar saya (ceile pacar) pernah bilang "Menolong orang di desa-desa, orang yang nggak mampu, itu seribu kali lebih membahagiakan. Melihat senyum mereka kalau mereka sudah membaik, mendengar mereka mengucapkan terima kasih sambil menyalami tangan kita, itu gak terbeli dengan apapun. Rasanya kita tuh dibutuhkan banget..."
Saya bangga loh punya pacar yang bisa ngomong seperti ini. Setidaknya saya tahu bahwa kami satu visi ke depan atau setidaknya, saya punya seseorang yang akan selalu mengingatkan saya kalau saya mulai lupa dengan panggilan hidup saya.

Soal biaya, perkara pasien mampu bayar atau tidak bayar dan perkara pasien datang dengan latar belakang apapun, biarlah itu menjadi perkara yang lain, bukan hal yang membuat kita tidak bisa memberikan senyum atau malah bersikap jutek dan sinis terhadap pasien. 

Kalau pasien datang ke kita setelah kondisinya parah akibat sebelumnya pergi berobat ke alternatif, maka kasihanilah mereka, jangan tambah dipojokkan. Jangan disalah-salahkan. Kita boleh menyesali adanya pengobatan alternatif yang malah memperburuk pasien, tapi jangan lagi tambah beban pasien. Selama kita sudah memberikan edukasi yang baik, apapun pilihan pengobatan pasien, itu sepenuhnya hak mereka. Ketika mereka datang ke kita, lihatlah mereka sebagai seorang yang butuh bantuan, butuh pertolongan, bukan butuh ceramah tetek bengek kita soal "kesalahan pengobatan alternatif". Dengan mereka datang ke kita, mereka sebenarnya sudah sadar bahwa mereka sudah salah makanya kembali ke kita. Nah, sudah, jangan tambah disalahkan lagi. Kasih senyum, terima dengan baik dan layani tetap dengan sepenuh hati. 

Yang jelas, lakukanlah bagian kita dengan setia. Berikanlah pelayanan yang sama kepada pasien kelas berapapun. Mereka sama menderitanya dengan pasien di ruangan VIP. Soal lain-lain boleh berbeda, tapi senyum dan sapa hangat kita harus tetap sama. Kalau di kelas VIP senyum tiga sentimeter, maka di kelas tiga juga harus tiga sentimeter.

Kalaupun kita lantas tidak jadi kaya raya, minimal kita berkecukupan. Minimal Tuhan tidak biarkan kita kekurangan. Tapi ya, kalau orang yang mampu bersikap baik kepada sesiapapun, rasanya selalu kelak akan banyak yang balik membantu. Apa yang kita tanam, itu juga yang kita tuai, bukan?


Besok, masuk ruang kelas tiga, jangan lupa senyum sambil bilang, "Selamat pagi, Pak!" sambil menepuk lengannya dengan penuh kasih yaa....Selamat melayani dan Tuhan berkati!
 

Senin, 29 Juli 2013

Kenapa Saya Yakin Denganmu...

Saya tahu kekasih saya menyayangi saya dari hal-hal yang dilakukannya buat saya:

  • selalu menceritakan semua masalahnya pada saya dan mendengarkan pertimbangan saya. Diberikan kepercayaan seperti itu jelas sebuah kebanggaan buat saya.
  • tidak pernah keberatan ditelepon jam berapapun kalau tiba-tiba jantung saya lagi kambuh. dia adalah orang yang tahu kalau saya pasti lagi sakit kalau saya menelepon tengah malam, dan esok paginya dia adalah orang pertama yang akan menanyakan keadaan saya.
  • caranya marah kalau saya ngambek dengan cara nggak mau angkat teleponnya. Well, dia bukan tipe cowok yang akan membujuk/ memanis-maniskan diri kalau saya lagi ngambek. Dia akan marah dan biasanya akan keluar kata-katanya "jangan tutup telepon sebelum kamu ngomong ada apa sampai kamu ngambek begini!" jujur saya lebih suka dengan laki-laki yang bisa mengingatkan bahkan mendebat saya kalau saya salah. dibandingkan dengan laki-laki yang cuma iya-iya aja, saya mah ogah bener deh.
  • caranya bermanja-manja kalau seharian sudah capek bekerja. Harus saya akui, dia laki-laki paling manis yang manja-nya selalu bikin saya tertawa, bukan malah bikin eneg. Kalau manjanya lagi kumat, entah kenapa saya jadi tambah sayang, mungkin karena dia memang jarang manja, tapi senang aja sesekali kalau dia bermanja-manja dengan saya.
  • laki-laki yang mau aja disuruh nyanyi satu album di telepon. Saya suka kangen dengar suaranya. Dia suka nyanyi buat saya, dan biasanya habis itu saya suka nangis kalau dengar lagu itu di playlist.
  • caranya memeluk saya dari belakang yang benar-benar bikin saya merasa nyaman. Kadang suka kaget kalau dia tiba-tiba peluk atau rangkul saya dari belakang, sebentar aja sih, habis itu dilepas dan ya udah gitu doang.
  • kalau lagi naik motor berdua, dia sering minta dipeluk tiba-tiba, kalau saya lama gak peluk, nanti tangan saya ditarik dan dia bilang "peluk mamas sih, dek.." :p mudah-mudahan mas nggak ketawa bacanya..Sebenarnya ingin peluk mas sepanjang jalan, tapi pegel rasanya, kalau lagi gak pakai helm sih enak aja peluknya, tapi kalau lagi pakai helm, jadi nggak bisa meletakkan dagu di bahu mamas.
  • dia mencium saya di depan orang tuanya. Sebenarnya gak di depannya juga sih, waktu itu kami di mobil dalam perjalanan ke Padang Ratu, saya dan mas duduk di belakang. Lumayan kaget juga sih waktu mas cium pipi saya. Yang saya tahu sih bapak sempat ngelirik..haduhh...sampai merah wajah saya rasanya..
  • waktu dia menyuntik benzatin penisilin buat saya dan maksa obat itu harus masuk semua. Asli, kalau dalam hal-hal seperti ini, pacar saya galak banget! Mungkin dia kekasih saya yang paling galak, tapi saya tetap sayang koq. Galaknya selalu ada maksud baiknya..
  • waktu saya lagi ngantuk berat di feri saat perjalan ke Metro, dia tiba-tiba menarik saya dan membiarkan saya tidur dalam pelukannya. Jujur aja rasanya terharu banget. Nggak ada lain yang saya pikirkan saat itu selain betapa nyamannya bisa bersandar di bahunya.
  • dan waktu saya harus kembali ke jakarta, di sebuah momen di siang itu, tiba-tiba dia peluk saya erat-erat dan bilang "jangan tinggalin mamas, dek.." dengan suaranya yang benar-benar terdengar tulus. Tiga detik kemudian, dia lepaskan pelukan dan kembali berusaha nampak tegar melepaskan kepergian saya. Mau rasanya nggak usah balik ke Jakarta, tapi apa mau dikata, masih panjang perjalanan sabar yang harus ditempuh bersama.

ya, banyak lagi alasannya, setidaknya berbaris-baris di atas itu mengalahkan hal-hal yang tidak saya suka darinya. semua orang punya kelebihan dan kekurangan, yang bisa saya lakukan adalah menjadi pelengkap baginya, dan begitu banyak alasan saya untuk masih tetap bersamanya sekalipun orang-orang di luar sana begitu sinis. seperti yang sering saya bilang pada pasangan saya, "saya yang tahu kamu, bukan mereka yang di luar sana."

Minggu, 28 Juli 2013

Penyimpan Kenangan

Kemarin pagi, saya asyik dengan kegiatan membereskan lemari dan rak buku di kamar. Hal yang paling asyik kalau membereskan barang-barang di kamar itu nggak lain karena kita bisa tiba-tiba menemukan barang-barang lama yang sebenarnya kita sendiri sudah nggak ingat kalau punya. 

Banyak barang-barang yang saya temukan, tapi dari yang banyak itu, ada beberapa yang membuat saya jadi senyum-senyum sendiri. Kebanyakan sih tulisan-tulisan saya di masa SMP sampai SMA. Buku catatan harian, cerpen atau novel yang saya buat saat masih duduk di bangku SMP. Waktu membacanya kembali, benar-benar bikin senyum bahkan ketawa malu. Ya ampunnn...ternyata dulu waktu SMP saya ini termasuk alay juga yaakk... hihihi

digambar oleh kawan SMA saya, Andina Ramadhani, yang ceweknya itu saya, tapi yang cowoknya...rahasia


Selain barang-barang tersebut, ada lagi yang saya temukan, seperti binder tempat dulu kawan-kawan semasa SMP mengisi dengan biodata mereka. Ingat kan zaman dulu SMP, mungkin sekitar tahun 2000-an, lagi nge-trend banget mengisi binder teman dengan biodata kita lengkap dengan kesan-kesan terhadap si teman yang punya binder. Dari semua yang yang mengisi binder itu, ada satu yang spesial. Siapa lagi kalau bukan si Mr. X, seseorang yang pernah ada di hati saya. 

Kerennya, saya masih menyimpan foto-fotonya, masih menyimpan semua tulisan-tulisannya. Si Mr. X ini dulu banyak mendominasi binder saya. Dia suka menulis lirik lagu yang dia suka (dan untungnya selera musik kami sama, kebayang 'gak kalau saya sukanya Westlife dan dia menuliskan lagu Linkin Park?) dia suka menulis kata-kata mutiara atau ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jepang (yang dulu buat tahu artinya saya harus pergi ke Gramedia buat cari di kamus Bahasa Jepang) dan yang bikin saya senyum sumringah adalah saya masih menyimpan gambar-gambar pesawatnya. Oke, saya tidak bisa meng-upload gambar pesawat itu karena tidak enak kalau dilihat yang punya.

Tapi saya masih selalu menyimpannya di binder saya, sebab saya suka dapat sesuatu yang dibuat sendiri oleh seseorang. Gambar-gambar pesawat itu tidak pernah saya minta. Dia membuatnya sendiri untuk saya, di binder yang siangnya dia pinjam dari saya. 

Teringat sebuah kata-kata dalam film Perahu Kertas

"Carilah orang yang bisa ngasih kamu segala-galanya tanpa pernah kamu minta.."

Dalem banget ya makna kata-kata tersebut? 

Saya nggak pernah minta Mr.X ini buat melukis pesawat buat saya, apalagi memintanya menuliskan kode 151188 di badan pesawatnya. Dia melukis atas kemauannya sendiri. Buat saya, katanya sepuluh tahun silam. 

begitu juga dengan kartu natal yang dikirimkannya untuk saya, semua dilakukannya tanpa pernah saya minta. Dan hal itulah yang membuat saya bahagia. Ada yang kenal ini tulisan siapa? ~mudah-mudahan yang punya tulisan juga nggak ingat :D

Saya juga masih menyimpan beberapa kartu ucapan yang  pernah diberikan oleh kawan-kawan terbaik saya semasa saya ulang tahun. Lihat deh mereka mengucapkan untuk ulang tahun saya yang ke berapa... dan wakt saya menuliskan blog ini, usia saya sudah dua puluh empat tahun, empat bulan lagi sudah mau 25 tahun!! 

bayangin dong, ini kartu ultah waktu saya ultah ke 18, yang artinya itu tujuh tahun yang lalu

Saya memang benar-benar penyimpan kenangan yang baik, bukan?  yang satu ini malah saat saya masih berulang tahun yang ke-17, sweet seventeen...




Ada satu lagi yang berkesan dari hasil beres-beres kamar, yaitu boneka berjubah cokelat ini. Boneka yang menggambarkan St. Fransiskus dari Asisi ini diberikan oleh seseorang juga yan pernah dan masih tetap menjadi seorang yang spesial buat saya. Boneka ini diberikan bersama VCD-nya juga, yang juga bercerita tentang perjalanan hidup St. Fransiskus dari Asisi. Kalau saya nggak salah ingat, ini diberikan waktu saya masih semester tiga, ya sekitar empat tahun silam. Inipun tanpa saya minta. Dan saya suka sekali.


Ya, saya memang penyimpan kenangan yang baik, tapi bukan hanya itu, saya selalu menyimpan kebaikan hati orang-orang yang pernah memberikan ini semua untuk saya.  Apalagi kalau kartu ucapan atau lukisan-lukisan itu dibuat sendiri, hasil karya sendiri, saya benar-benar merasa begitu spesial menerimanya. Karena jujur saja, saya pun kalau ingin memberikan kepada orang yang saya sayang, saya berusaha untuk membuatnya sendiri, bukan hasil beli jadi. Terasa seribu kali lebih spesial.


Jadi, apa kamu ingin menitipkan sesuatu untuk saya simpan?



Mencintai dan Menghormati

Sore tadi, saat saya hadir dalam ibadah ekaristi Minggu sore, saya mendengar ada dua pasutri (pasangan suami istri) yang mengucapkan janji pernikahan kembali, istilah dalam gereja Katolik "memperbaharui janji pernikahan". 

 

Ada satu kalimat yang membuat saya tertegun, yaitu saat masing-masing pasangan mengucapkan "Saya berjanji akan mencintai dan menghormati pasangan saya.."

 

Ya. Berjanji untuk selalu mencintai dan menghormati. Mencintai dan menghormati adalah dua hal yang harus saling mengikuti. Tapi yang saya pikirkan saat ini, kita mungkin menghormati tanpa mencintai tapi tidak mungkin mencintai tanpa menghormati. Saya selalu mencium tangan konsulen-konsulen saya dan beberapa orang perawat yang saya anggap banyak memberikan bekal ilmu saat masa kepaniteraan saya. Saya menghormati mereka tapi tidak mencintai bukan? Nah, itu yang saya maksud dengan kalimat di atas. Tapi kepada pasangan, saya menghormatinya karena saya mencintainya. 

 

Menghormati pasangan bukan berarti harus selalu "nunduk" dan mengikuti semua yang diminta pasangan. Tentu bukan itu. Menghormati artinya kita memberikan "tempat" baginya untuk ia memiliki dunianya sendiri. Misalnya, saya menghormati pasangan saya dengan tidak menanyakan password social network -nya. Saya menghormati pasangan saya dengan tidak melarangnya melakukan hobi atau kesenangannya yang memang sudah ada sejak dulu, bahkan ketika saya belum ada dalam hari-harinya. Saya menghormati pasangan saya dengan berkomitmen untuk tidak bicara kasar, memaki, membentak atau menyindir pasangan saya di depannya maupun di depan orang lain. Saya beri tahu ya, pasangan yang baik akan menjaga kehormatan pasangan lainnya. Dan salah satu "pelecehan" yang sering terjadi di dalam sebuah hubungan adalah ketika kita mulai menyindir pasangan lewat jejaring sosial. Dengan kita menjelekkan atau membawa masalah kita ke jejaring sosial, artinya kita menodai kehormatan pasangan kita sendiri dan tentu menodai kehormatan kita sendiri. Buat apa masalah berdua harus satu dunia yang tahu? 

 

Saya sendiri adalah tipe orang yang akan menuliskan perasaan saya kalau saya sedang sedih atau sedang bahagia. Kalau saya sedang sangat teramat bahagia karena pasangan saya baru kasih surprise atau tiba-tiba dia melakukan hal-hal yang begitu manis, maka saya ingin orang lain tahu betapa bahagianya saya bersamanya, tapi ketika saya kesal, saya marah atau jengkel, maka saya akan menulis di akun twitter saya yang tidak di follow oleh sesiapapun. dengan nama saya yang disamarkan, dan benar-benar hanya untuk meluapkan kemarahan sesaat. Dan menakjubkannya, bahwa hanya 0,05% saja kemarahan tersebut beralasan. Sisanya hanya emosi yang datang sesaat dan setelah itu pergi dengan sendirinya. Bayangkan kalau setiap kali saya jengkel atau setiap kali saya marah dengan pasangan saya, lalu saya tulis di Facebook atau saya maki-maki pasangan saya, bulan ketiga kami pasti sudah berpisah. Dan berpisah secara tidak terhormat pula pastinya. 

 

Salah satu contoh lainnya yang sering tidak kita sadari kita lakukan, yaitu, ketika pasangan kita bicara, kita menyela, memotongnya, tidak mau mendengarkan sampai ia selasai menjelaskan atau malah saat pasangan kita bercerita, kita malah asyik dengan gadget sendiri atau sambil melakukan hal lain seperti baca majalah, gunting kuku atau hal-hal sepele lainnya. Masalah kecil, bukan? Tapi saya menempatkan masalah ini sebagai suatu bentuk kita tidak mampu menghormati pasangan kita. 

 

Mungkin, khusus saya pribadi, satu hal lagi yang saya lakukan (dan benar-benar keputusan saya sendiri melakukannya) adalah dengan mencium tangan pasangan saya setiap kali kami bertemu dan setiap akan berpisah kembali. Buat saya, makna "cium tangan" itu adalah, "saya menghormatimu sebagai pasangan saya, seseorang yang mampu membimbing saya sekarang dan seterusnya.." dan kalau setelahnya saya dapat "hadiah" kecupan lembut di kening, saya mengartikannya sebagai dia pun mengasihi dan menghormati saya.

 

Sering saya mendengar "Laki-laki tidak boleh kasar pada perempuan.." maka saya pun tidak mau sepihak saja, saya pun berjanji untuk tidak pernah kasar terhadap pasangan saya di dalam kondisi apapun. Saya akan tetap berusaha menjadi perempuan yang mampu bersikap sopan, lambat dalam berkata-kata, selalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan tetap lembut dalam kondisi apapun. Saya ingin menghormati pasangan saya sebagaimana saya ingin diperlakukan.


 -morina-

28.07.13

Saint Camillus Pelindungku...



Santo Camillus pelindung para dokter...
Ajarilah aku untuk selalu menjadi seturut dengan teladan Kristus, yang mau melayani kepada siapapun tanpa memandang status sosialnya. Yang bersedia dengan ringan tangan memberikan bantuan kepada mereka semua yang paling memerlukannya.


Santo Camillus pelindung para dokter...
Berjalanlah selalu bersamaku dalam setiap langkah pelayanan dalam hidupku. Sama seperti engkau yang meresapi panggilan Tuhan terhadap mereka yang sakit dan menderita setelah begitu banyak badai menerpa, maka akupun demikian. Aku yang dulu menyesali sekolahku, namun kini aku tahu, Tuhan kelak akan memakaiku untuk menjadi hamba-Nya di tengah-tengah umat kesayangan-Nya. 

Santo Camillus pelindung para dokter...
Ingatkanlah aku selalu ketika aku mulai lupa akan tujuan hidup panggilanku. Ingatkan aku untuk selalu tersenyum, menyapa dan membagikan kasih kepada mereka yang sakit dan menderita. Semoga aku tak menambah beban penderitaan mereka dan tidak menyakiti mereka. Biarlah aku menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk membuat mereka tersenyum dan memiliki harapan, sebab kesembuhan datangnya dari Tuhan saja


Santo Camillus pelindung para dokter...
Penuhilah pengetahuanku, akal budi dan seluruh kemampuanku untuk tetap mementingkan pelayanan terbaik bagi setiap pasien-pasienku. Dampingilah aku setiap kali aku berhadapan dengan mereka yang sakit dan membutuhkan bantuan. Berikan hikmat dan kasih setulus kasih-Mu kepada Kristus, agar aku pun dapat melihat Kristus di dalam mereka yang sakit dan menderita. Bila aku tak dapat melakukan apa yang mereka harapkan, setidaknya aku tidak menambah beban mereka, setidaknya aku tidak menyakiti mereka.

Santo Camillus pelindung para dokter...
Ajarlah aku untuk selalu menjadi dokter yang takut akan Tuhan. Sebab takut akan Tuhan adalah awal dari segala sesuatu. Biarlah setiap kemampuanku, setiap proses di dalam hidupku membawaku untuk lebih mau lagi dipakai dalam setiap rencana-Nya..

Santo Camillus pelindung para dokter....doakanlah kami senantiasa..AMEN
 
 

Santo Kamilus de Lellis

Kamilus lahir di Bocchionico, Italia Tengah pada tahun 1550. pada masa remajanya, ia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda positif akan menjadi seorang Abdi Allah. Putra pejabat militer ini terkenal nakal dank arena itu harus diawasi secara ketat oleh ayahnya setelah kematian ibunya. Pada usia17 tahun, ia menjadi tentara Venesia. Tetapi tujuh tahun kemudian ia dipecat karena lekas naik darah dan suka berjudi.

 

Setelah meninggalkan dinas militer, Kamilus semakin gemar saja berjudi, sehingga berkali-kali ia jatuh miskin dan akhirnya menjadi pengemis. Pada tahun 1574, ia menjadi seorang pekerja bangunan di biara Kapusin Manfredonia. Di sana ia bertobat lalu melamar menjadi seorang bruder Kapusin di biara itu. Namun ia ditolak karena luka parah pada kakinya

 

Kamilus kemudian berangkat ke Roma untuk mencari pengobatan yang lebih baik untuk lukanya. Di sana ia bertemu dengan Santo Philipus Neri. Philipus menjadi bapa pengakuannya. Setelah beberapa lama, Kamilus diterima menjadi pasien di rumah sakit San Giacomo. Di rumah sakit ini, Kamilus kemudian menjadi seorang perawat. Ia ditugaskan merawat orang-orang sakit yang tidka bisa terobati lagi. Kesabaran dan kesanggupannya untuk merawat orang-orang ini menaikkan prestasinya. Oleh karena itu, kemudian Kamilus diangkat menjadi direktur rumah sakit ini.

 

Semangat pelayanannya kepada para pasien sungguh besar. Ia kemudian berkeputusan untuk membaktikan dirinya bagi pelayanan orang-orang sakit. Kelalaian para perawat, bahkan imam-imam terhadap kepentingan orang-orang sakit mendorong dia semakin menekuni pelayanan terhadap orang-orang sakit. Atas nasehat Philipus Neri, Kamilus memutuskan untuk menjadi imam. Untuk itu ia giat belajar dan kemudian ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1584 di Roma. Pada tahun itu juga ia mendirikan sebuah tarekat baru, Tarekat Hamba Orang-Orang Sakit, yang disebut juga Imam-Imam Kamilian. Anggota tarekat ini mengabdikan dirinya pada pelayanan orang-orang sakit. Dua tahun berikutnya kongregasi ini direstui oleh Sri Paus Sixtus V pada tahun 1586, dan pada tahun 1591 Paus Gregorius XIV meningkatkan statusnya menjadi sebuah ordo religius. Kamilus menjadi pemimpin pertama ordo itu dna membangun biara-biara di Napoli dan kota-kota Italia lainnya. Kepada rekan-rekannya, ia menasehatkan: “mengabdilah seikhlas-ikhlasnya hingga titik darah yang terakhir, karena Tuhan hadir secara paling nyata di dalam diri orang-orang sakit yang kita layani. Kita ditugaskan Tuhan untuk melayani Dia dalam diri orang-orang sakit ini.”

 

Kamilus meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 1614 dalam usia 64 tahun. Jenazahnya dikuburkan di gereja Santa Maria Magdalena di Roma. Banyak mujizat dialami oleh orang-orang yang berdoa dengan perantaraannya. Kamilus dinyatakan sebagai ‘beato’ pada tahun 1742 dan digelari ‘santo’ oleh Paus Benediktus XIV pada tahun 1746. ia dihormati sebagai santo pelindung orang-orang sakit, para perawat dan organisasi-organisasi kesehatan.

 

(Diambil dari “Orang Kudus Sepanjang Tahun karangan Mgr. Nocilaas Martinus Schneiders, CICM)

Sabtu, 27 Juli 2013

Hujan dan Rindu

 

 

Kangenku adalah himpunan samudera yang menguap jadi awan
Ditiupkan angin hingga ke kotamu,
Dan jatuh sebagai hujan,
 

Yang membasahi kepalamu..
Meresap di serat-serat pakaianmu,
Seolah ingin memelukmu dalam dinginnya..

 

Bila hujan mengguyur kembali,
Ingatlah aku tengah merindu..
Membahasakannya dengan simfoni alam,
Mengisyaratkannya kepada langit
Dan menemuimu dalam wujud yang lain,,
 

Sebab rindu adalah gumpalan-gumpalan awan bermuatan yang harus mencair..
Bila hujan menemuimu lagi,
Tersenyum dan pandangi saja,,
 

Di sela-sela rinainya yang jatuh, wajahku tersamar, menemuimu dalam teduh..
Aku berdoa hujan turun lagi,,
Dan rintiknya yang mengguyurmu adalah pelukanku dalam bentuk yang lain..

 

15.03.13

 

katakanlah, aku menyematkan rindu di setiap momen yang aku lalui denganmu

 

Hujan di Ujung Malam

Tidak ada melodi yang serupa,
Sekalipun dua belas jam memejamkan mata dan meresapi
Irama tetes hujan yang datang tanpa mau pergi
Di atap rumah, di tanah merah, di daun-daun hijau
Tidak ada yang serupa, sebelum cinta kau kemasi


Tapi bulan Juli katamu terlalu menyiksa,
Kalau hujan jatuh, ia tak jatuh bersama segenap metastasis rindu
Cuma menitip sunyi lalu pergi
Tidak ada kau, untuk berbagi pelukan,
Bahkan ketika setiap jengkal tubuh sudah menyerap hujan

 

Lalu tidak akan ada lagi hujan yang berikutnya
Yang menyapa sambil aku mempererat genggaman
Yang membawa dekapan sampai di tahap akhirnya
Hujan seperti sengaja memusuhi kita,
Menyayat nadi kenangan tanpa aku mampu berteriak

 

Jakarta, 25 Juli 2013, "Sayang, kalau kamu kangen hujan
Aku bisa koq bikin hujan buatan.."

 

 

12 Stase 12 Kenangan (Bagian Tiga)

Stase Delapan- Ilmu Kesehatan Anak, RS Mardi Waluyo, Metro, Lampung

Aku girang bukan main ketika pengumuman stase menuliskan namaku di RS Mardi Waluyo (RS MW). Aku bahkan sampai loncat-loncat di dalam kamar saking senangnya akan kembali ke Lampung. Rasanya seperti mimpi. Setiap malam aku berdoa, semoga tidak ada ralat untuk namaku. Benar-benar ingin kembali ke Metro.

Lampung sekarang bukan lagi kota yang asing buatku. Kembali ke sini selalu membuatku serasa kembali ke kampung halaman sendiri. Aku bersyukur kembali ke Metro, ke kota kecil yang paling aku suka sepanjang menjalani masa kepaniteraan klinik ini.

Aku paling senang jaga di IGD di RS ini. Rasanya tiada hari aku lewati tanpa aku main ke Instalasi Gawat Darurat. Pasien di IGD sekarang makin banyak saja, berbeda dengan saat pertama kali aku ditempatkan di sini.

Aku senang bertugas di bagian anak, karena aku memang senang dengan anak kecil. Di bangsal, aku senang main dengan pasien-pasienku. Di stase ini, saku snelli ku selalu penuh dengan biskuit dan cokelat. Berasa jadi Santa Clauss. Tapi aku senang saja melakukannya. Kadang suka lucu melihat senyum anak-anak kecil itu. Kalau di ruang perina, aku senang gendong bayi-bayi yang baru lahir. Ditimang-timang sampai mereka tidur pulas. Kalau di Poliklinik, aku senang main dengan pasien-pasien anak. Keahlian sekaligus tugas utamaku, membuat anak-anak itu tenang saat masuk poli anak. Sembilan puluh sembilan persen sih berhasil. Nggak sulit koq menenangkan anak-anak. Cukup buat mereka percaya bahwa kita nggak berniat menyakiti mereka dan bermaksud berteman. Mereka pasti langsung luluh hatinya.




Hanya saja, yang sedikit menghambat tugasku sebagai koasisten bagian anak adalah karena aku memberhentikan terapi, akibatnya jantung mulai ikut-ikutan kecapekan. Hampir setiap hari terpaksa harus masuk ketorolac iv belakangan malah novalgin, hanya demi mengurangi rasa sakit untuk aku tetap bisa bekerja seperti biasa.

Sayangnya, di minggu kelima, setelah tiga bulan lebih memberhentikan terapi rutinku, kondisi kesehatanku benar-benar drop dan untuk kedua kalinya sepanjang kepaniteraan, aku harus merasakan opname kembali. Kali ini lebih parah dari yang sebelumnya. Aku harus istirahat total selama empat hari.

Pengalaman tak terlupa di stase ini tentulah saat-saat ikut jaga malam. Di RS ini, koass tidak perlu jaga malam hingga pagi. Kewajiban kami hanya jaga sore. Tapi, karena waktu itu sedang libur dan aku tidak pulang ke Bekasi, aku memutuskan untuk ikut jaga malam. Sering bekerja di IGD membuatku hafal di luar kepala alur kerja atau protokol apa saja yang harus dilakukan setiap kali ada pasien gawat. Benar-benar jadi pelajaran berharga sekaligus memperkaya pengalamanku. Banyak kesempatan untuk melakukan tindakan yang diberikan kepadaku dan banyak hal baru yang aku pelajari di sini. Saking selalu ke IGD, IGD sudah serasa kost kedua. Barang-barang ditaroh di loker IGD, makan, istirahat, semuanya di IGD. Simpelnya, kalau belum diusir pulang, belum pulang dari IGD. Selalu berkesan jaga bareng Kak Remi, Kak Ratna, Kak Tere, Bang Hendra, Mas Agus, Mas Nunu, Kak Eva, Kak Ciwi, Mas Wayan, Mas Yoga, Mas Andre, Mas Wawan, Mas Adji, Mas Yos, Mas Made, Kak Iges dan Mbak Yeti. Sepanjang masa kepaniteraan, inilah personil IGD yang paling segala-galanya. Paling baik, paling gila sekaligus paling aneh-aneh. I miss all of them!



Di stase ini juga, di minggu kesembilan, saat aku tengah ikut dinas malam, aku pertama kali berkenalan dengan laki-laki yang kini jadi seseorang yang spesial di hatiku. Seorang perawat yang tengah malam merujuk pasien dgn kondisi yang gawat sudah itu pakai acara ngerjain koass paling cantik yang lagi ngantuk berat pula. Hehehe.

Dan inilah stase yang seminggu sebelum waktu kepulangan saja aku sudah nangis-nangis bombay karena tak mau pulang. Apalagi semalam sebelum kepulangan. Banjir air mata di IGD saking nggak ingin pergi dari Metro. Pagi hari menjelang pulang saja, masih mampir dulu ke IGD dan bikin aku nyaris ketinggalan pesawat.



Stase Sembilan- Radiologi, RS Harapan, Depok


Meninggalkan Metro dan kembali ke Depok itu rasanya sesuatu banget. Badan memang di Depok, tapi hati, pikiran dan jiwa semuanya masih di Metro. Masih belum percaya kalau nggak bisa lagi jaga IGD sama-sama. Rutinitas yang begitu berubah drastis. Yang biasanya mondar-mandir di IGD, sekarang lebih banyak diam saja di ruang Radiologi.

Tapi, dua minggu memang tidak terasa. Cepat sekali rasanya waktu berlalu. Tahu-tahu saja sudah selesai. Tidak ada kesan yang terlalu mendalam. Tidak ada kenangan yang terlalu berkesan.



Tapi belajar Radiologi dengan bimbingan dr Surjadi, Sp. Rad sangat menyenangkan. Termotivasi harus bisa, apalagi sering banget disuruh maju buat baca foto. Kadang jadi stress sendiri lihat foto, tapi ya kalau disuruh maju, maju saja, biasanya kalau ditunjuk seperti itu, jadi lebih ingat nantinya. Terbukti koq saat ujian. Aku bisa jawab foto yang pernah aku baca di depan beliau sebelumnya.

Karena stase ini Jakarta dan sekitarnya dilanda hujan dan banjir, sempat dua hari kami diliburkan. Akan tetapi, dokter kami menggantinya dengan bimbingan di hari Minggu. Terharu yaa.. Baik sekali dokter radiologi kami ini, mau meluangkan waktunya hanya untuk mengajar kami. Datang ke Depok naik comutter hanya demi mengajar kami para koasistennya. Dedikasi yang luar biasa.



Stase Sepuluh- Forensik, RSCM, Jakarta

Satu lagi stase yang saat baca nama di pengumuman stase bikin nggak bisa tidur semalaman. Hore! F.O.R.E.N.S.I.K! Dari dulu, kalau ditanya "Mau ambil spesialis apa?" maka aku akan dengan bersemangat menjawab" spesialis forensik." walaupun setelah itu orang yang nanya akan melongo bingung. Tapi ya memang itulah cita-citaku, jadi dokter spesialis Forensik.

Kenapa senang Forensik? Karena bidang ini menantang! Bidang ini juga membuat kita tak hanya fokus sisi medis saja, tapi bisa terjun ke ranah hukum, sosial bahkan berbagai kepentingan politik. Aku memang bukan sepenuhnya orang sains kan? Aku seorang sosial, lebih senang ilmu sosial, tapi terjun ke dunia medis. Tapi sekarang banyak keuntungannya koq buatku. Tak ada yang aku sesali.

Yang bikin lebih senang, aku ditempatkan di Forensik RSCM, artinya bisa bertemu lagi dengan dr Abdul Mun'im Idris, Sp. F atau yang lebih sering aku panggil dengan dr AMI. Aku sudah kenal beliau sejak dua tahun yang lalu, sebelum aku menjadi koass. Sebuah perkenalan yang tak disengaja. Aku ngefans berat dengan ahli Forensik yang satu ini dan hal itulah yang akhirnya membuatku bisa bertemu dengannya dua tahun silam. Sekarang akan bertemu lagi, tapi statusku sudah jadi koasisten.

Hari pertama datang, aku sudah bertemu lagi dengan dr AMI. Sudah lama kami tak berjumpa. Kami ngobrol-ngobrol sejenak sebelum kuliah bimbingan dimulai. Hari-hari berikutnya pun demikian. Kalau ada waktu senggang, aku senang mendengar cerita-cerita beliau di ruang kerjanya tentang pengalamannya selama bertugas menjadi dokter Forensik. Pengalaman yang menurutku keren banget.

Selama dua minggu ini, hanya satu kali dapat kesempatan autopsi, dan itu jadi pengalaman tak terlupa. Semangat sekali waktu pemeriksaan, tak sadar bahwa bau jenazahnya bertahan terus sekalipun sudah mandi dan sudah dua puluh kali cuci tangan pakai sabun! Akhirnya, aku harus luluran, creambath dan tangan diuap (seperti disauna) baru bau jenazah yang melekat hilang dari badan.



Dalam dua minggu ini juga, kebetulan dapat satu kali kesempatan jaga malam dengan dr AMI. Rasanya seru saja. Impianku selama stase. Siapa tak senang bisa jaga malam dengan dokter idolanya. Buatku, inilah salah satu stase paling meninggalkan kesan. Stase impian. Stase yang aku tunggu jauh bahkan sebelum aku memulai kepaniteraanku.

12 Stase 12 Kenangan (Bagian Dua)

Stase 5- Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Koja, Jakarta

Setelah tiga kali minor, akhirnya dapat stase mayor lagi. Sepuluh minggu kembali ke Koja. Mudah-mudahan aku betah. Secara, hati, jiwa dan pikiran masih tertinggal di Metro. Terbiasa dengan suasana Metro yang sepi, nyaman, tenang, nggak ada macet dan benar-benar jauh dari segala jenis keramaian, rasanya stress juga waktu harus kembali ke Koja yang super ramai. 





Tapi aku bersyukur, stase ini pun tidak terlalu berat, kecuali kalau sedang jaga malam. Tapi ah, aku senang juga jaga malam di IGD Koja, walaupun di awal-awal stase, setiap kali jaga di IGD rasanya ada pikiranku yang hilang terbang ke Metro. Kenangan-kenangan manis bersama kakak-kakak di IGD RS MW benar-benar membekas. Sering aku bayangkan seandainya aku jaga malam di Metro.


Di sini, aku dapat kesempatan sebanyak-banyaknya untuk berlatih melakukan tindakan. Semua tindakan. Dari yang awalnya masih disupervisi sampai akhirnya sudah dilepas sendiri karena sudah dianggap mampu melakukan sendiri dengan baik dan benar. Pasien di IGD RSUD Koja selalu banjir. Selalu ramai. Tapi seluruh rasa lelah selalu terbayar dengan selalu bertambahnya kemampuan dan ilmu yang dipunya.

Apalagi, kalau jaga dengan dr H. Itu dua kali lebih semangat. Aku beberapa kali minta tukar jaga, supaya bisa jaga dengan dokter yang satu ini. Semua dokter di IGD Koja itu baik. Baik banget. Tapi dr H ini paling spesial di hatiku. Kalau sedang jaga dengan beliau, tengah malam, kalau pasien sudah tidak terlalu ramai, biasanya diisi dengan aku mendengarkan beliau memberikan nasihat-nasihat kepadaku. Sebenarnya bukan nasihat-nasihat yang berat, justru yang dekat dengan keseharian saja. Seperti misalnya nasihat memilih suami. Apa nasihatnya?? Rahasia... hehehe.

Di RS ini juga aku berkenalan dengan dua orang radiografer yang sangat sangat baik. Pak Yohannes dan seorang ibu yang aku lupa namanya. Dua orang yang selalu menyambut dengan senyum dan canda kalau aku mengantar pasien ke bagian Radiologi. Kalau lagi lelah, dapat hadiah sepotong senyum saja, rasanya memang cetar membahana banget. Kadang malah suka janjian dengan Pak Yohannes kapan kita jaga bareng. Pernah sekali, aku sudah lelah karena pasien yang membludak, malam-malam, Pak Yohannes sudah menghampiriku, "Kayaknya udah capek banget nih, Rin? Daritadi mondar-madir aja kayak setrikaan. Istirahat aja dulu, gih sana ngumpet di ruang radiologi. Tidur aja sebentar. Kesehatan sendiri juga harus dijaga." Ya ampun...aku sampai hampir nangis mendengarnya. Baik banget pak radiografer yang satu ini.

Di bangsal Penyakit Dalam, aku sempat berkenalan dengan seorang perawat laki-laki yang tiap kali aku follow up pasien, pasti deh senang sekali menggoda. Ada-ada saja tingkahnya. Mulai dari mengangguku kalau aku sedang anamnesis pasien, sampai seringkali menjitakku. Pernah suatu pagi, aku sedang follow up dan dia terus menerus menggangguku, sampai pasien satu ruangan itu menertawakanku karena keisengannya. Kalau mas X ini yang mendampingi dokter visit, maka aku harus siap-siap hafal nama seluruh pasien ruangan yang jumlahnya bisa lima puluh orang. Soalnya mas X ini bakalan tanya nama-nama pasien sama aku saja. Padahal kan aku cuma pegang pasien paling-paling lima orang. Kalau aku nggak bisa jawab? hmm.... langsung kena jitak. Dan herannya, hanya aku yang diperlakukan seperti itu. Tapi jujur sih, kalau pas aku bertugas di sana dan mas X ini nggak ada, rasanya jadi sepi. Nggak ada yang bisa diajak bercanda. Pernah sekali aku bertanya padanya, "Mas, kenapa sih hobi amat gangguin aku? Koass nya banyak tuh, sekali-sekali gangguin yang lain dong.." lalu dijawabnya "Nggak tahu kenapa, paling enak gangguin morin. Nggak kepingin gangguin yang lain." Hadeehh...nasib-nasib...

Sepuluh minggu di RSUD Koja memang begitu berkesan. Ilmu, persahabatan dan kebersamaan terjalin dengan baik. Dan sekarang...tiba-tiba aku kangen makan bubur ayam di RS Koja yang enak itu...


Stase enam- Obstetri dan Ginekologi, RS Rajawali Bandung

Tidak seperti stase-stase sebelumnya, di stase ini aku tinggal di wisma bersama tiga orang kawanku. Semuanya adik kelas dan semuanya Malaysia. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan.

Inilah salah satu dengan teman-teman terbaik, atau, bolehlah aku anugerahkan teman-teman terbaik sepanjang kepaniteraan kepada : Tuty Alwiyah, Hafizah Ainaa dan Hazrena Hassim. Kami sudah bersama sebelumnya sejak di RS Koja. Jadi akan sepuluh minggu lagi bersama. Benar-benar bersama, sebab kami tidur dalam satu kamar.

Aku bersyukur di salah satu stase terberat ini, aku punya sahabat-sahabat terbaik yang selalu siap saling membantu. Dalam keadaan apapun, kami mencoba untuk tetap menghadapinya berempat. Mulai dari ketika awal-awal stase yang luar biasa menyedihkan sampai di menjelang akhir stase yang berubah bahagia dan penuh haru.

Menunggui ibu-ibu yang mau melahirkan itu berjuta rasanya. Aku sendiri belum tahu apa rasanya proses itu. Sesakit apa? Aku tak tahu. Tapi aku selalu berusaha untuk memberikan semangat kepada mereka. Barangkali cuma itu yang bisa aku lakukan saat ini. Pengalaman paling ekstrem, aku pernah dicekik pasien waktu sedang kontraksi. Ya ampun...tapi ya sudah, sabar saja. Pasti sakit yang ibu itu rasakan lebih dari yang aku rasakan saat dicekik secara tak sengaja olehnya.

Di RS ini, kami punya empat orang konsulen. Cukup melelahkan. Ini pertama kalinya aku punya konsulen yang berjumlah empat. Biasanya paling banyak hanya dua orang. Tapi setiap hari, sepulang bertugas di poliklinik, kami selalu mendapat bimbingan dari masing-masing konsulen.



Stase yang melelahkan ini ternyata benar-benar membuat kondisi kesehatanku menurun. Aku akhirnya merasakan harus opname selama dua hari. Pengalaman pertama buatku. Awalnya, aku masih menolak untuk opname ketika malam itu dokter jaga IGD sudah menganjurkan opname untukku, tapi karena sampai esok paginya sudah lima ampul ketorolac tak juga membantu mengurangi chest pain yang aku rasakan, akhirnya aku setuju saat by sitter ku menyuruhku opname.


Aku bahkan sempat berpikir untuk mengundurkan diri dari stase ini karena merasa fisikku tak sanggup lagi. Tapi berkat semangat dan dukungan teman-temanku, akhirnya aku bisa melanjutkan sampai stase selesai, walaupun di akhir stase masih saja ada cobaan untukku. Tapi sekali lagi Puji Tuhan, semua pihak mendukung dan memberikan semangat kepadaku. Mungkin, itulah buah kalau kita selalu bersikap dan berbuat baik kepada sesiapapun. Suatu hari, ketika kita jatuh, mereka akan datang menopang kita. Kita kan tidak tahu kapan kita jatuh, kapan kita membutuhkan bantuan. Jadi, berbuat baik, bersikap baik dan selalu santun adalah kunci di manapun kita ditempatkan. Apa yang kita tanam, itu juga yang kelak akan kita tuai.




Stase tujuh- Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan, RS Bhakti Yudha, Depok

Selepas stase Obsgyn di Bandung, aku mengajukan cuti selama tiga minggu. Aku ingin istirhata dan berobat dulu, supaya fisikku kembali kuat untuk bisa melanjutkan stase berikutnya. Akan sia-sia kalau aku memaksakan tetap melanjutkan stase dan jatuh sakit lagi di pertengahan stase.

Stase THT di RS Bhakti Yudha tidak terlalu berat. Kami biasanya masuk jam 09.00 dan paling lambat pulang jam 13.00. Dokter konsulen kami juga sangat baik. Hari-hari ada bimbingan.


Stase minor memang tak terlalou meninggalkan kesan, sebab lima minggu berlalu dengan cepat, apalagi kalau tak ada hal-hal lain yang bikin greget. Hari-hari hanya dilalui dengan : bangun siang- berangkat poli- pulang- nonton tv- tidur siang- belajar- baca novel- tidur.... membosankan sih, tapi untung banyak buku baru, jadi ya tiap hari diisi sambil baca-baca saja.


 

Stase di Depok ini, dalam seminggu aku bisa dua kali main ke Gramedia Depok, sekedar jalan-jalan atau membeli satu atau dua buku baru. Ya...selagi ada kesempatan. Di stase lain, mana sempat sekedar main ke toko buku. 


Tapi aku senang di Depok. Suasananya tak seramai di Jakarta, dan aneka jenis kulinernya benar-benar memanjakan lidah. Makanan-makanan di sekitar rumah sakit betul-betul membuatku sering lupa diri dan akhirnya berat badan naik sampai empat kilo selesai stase di Depok.

Akan tetapi, konsulen kami bilang, di masa kepaniteraan kami ini, kami sedikit sekali dapat pasien yang tindakan di OK. Seingatku memang aku hanya satu kali melihat operasi tonsil dan dua kali sinusitis. Selebihnya, semua lebih banyak di poli saja.


........bersambung

12 Stase 12 Kenangan (Bagian Satu)

Waktu membaca pengumuman semester pendek yang akan menentukan apakah aku bisa masuk kepaniteraan atau tidak, rasanya perasaan campur aduk. Hanya 1,4 SKS saja yang tertinggal (yang sebelumnya membuatku mendapatkan liburan gratis selama 6 bulan). Tapi tengah malam itu, akhirnya aku boleh berlega hati. Selamat datang babak baru.


Stase Satu - Bedah & Anestesi RS Imanuel Way Halim, Bandar Lampung


Mau nangis!!!

Itu adalah hal pertama yang terlintas di kepala saat namaku tertulis di daftar stase dan "dilempar" ke Lampung. Lampung, ciiinn....pulau apa tuh? Bukannya di sana cuma ada gajah ya? Koq bisa ada rumah sakit ya? Dan kenapa mesti aku yang dikirim ke sana? dari enam puluh sekian koass baru periode itu, ada lima orang yang dikirim ke Lampung, dan 5/60 itu...kenapa mesti aku? Ralat sampai tiga kali tapi nama tetap di RS Imanuel. Ya ampun...mudah-mudahan aku nggak diseruduk gajah Lampung nanti.

 

Tapi ternyata, inilah awal stase yang menegangkan, menyebalkan, membikin stress tapiiiiiiii..... memberikan pengalaman-pengalaman manis yang sampai sekarang masih teringat di memori otakku. 

 

Ahmad Fuadi bilang, "jangan takut pergi ke negeri orang. Kita akan dapat ganti kawan di sana nanti.." dan itu benar-benar terjadi. Dua setengah bulan di Lampung aku punya keluarga dan sahabat-sahabat baru. Terutama kakak-kakak di OK dan di IGD. Mereka adalah sumber semangat nomor satu. Saat sedang down, sedang stress, mereka selalu ada. Thank you Kak Yayas, Kak Tirta, Kak Made, Mas Egi, Kak Anas, Kak Rina, Mas Mawan, Mas Lukas, Mas Made, Kak Vera.



Di stase pertama ini sering banget aku nangis, tapi setelah itu ngajak Kak Yayas, dua rekan koass ku dari bagian lain juga buat makan mie ayam, bakso, siomay, es buah dan kadang-kadang masih ditambah sekilo mangga. Bikin mas-mas yang jualan mie ayam bingung. Ini cewek empat habis kerja apaan, koq makannya porsi sekampung. Tapi ya, karena stress, walaupun sering banget berkuliner ria, tetap aja, berat badan turun ENAM KILO sepulang dari Lampung. 

 

Di stase inilah aku belajar untuk disiplin, untuk mau turun kerja ada atau tidak ada konsulen. Aku belajar menyuntik iv, dikasih kesempatan untuk melakukan beberapa tindakan yang baru sekali itu aku lakukan. Kepercayaan diri dan keberanianku benar-benar ditempa di sini, terutama di IGD. Aku tak keberatan walaupun harus menghadapi kejutekan Kak Tirta dan Mas Egi tiap hari (upss...) yang penting aku diajari, dikasih bekal buat bisa melakukan berbagai tindakan.

 

Di Kamar operasi, aku senang bisa dapat kesempatan untuk belajar jahit, dibimbing langsung oleh dokter Bedahnya. dr Dono, Sp.B. Beliau sering sekali mengajakku asistensi kalau beliau yang naik sebagai operator dan biasanya aku punya kesempatan buat belajar jahit. Terima kasih, dr Dono.

Saat waktunya pulang kembali ke Jakarta, tau-tau saja aku mendapati diriku tak ingin pulang. Koq jadi berat begini ya mau meninggalkan Lampung? Padahal kan awalnya stress berat dikirim ke Lampung. Aku bertekad, mau kembali lagi ke Lampung.



Stase Dua - Ilmu Kesehatan Jiwa RSJ Soeharto-Heerdjan, Grogol, Jakarta

 

Aku masih belum terlalu bersemangat melanjutkan stase ini. Setelah cuti  satu minggu sepulang dari Lampung, aku melanjutkan berobat di Jakarta, dan hasilnya benar-benar di luar dugaanku. Diagnosis dokter, keputusan terapi yang harus dijalani, semua masih benar-benar membuatku tak bersemangat melanjutkan masa kepaniteraanku. Tapi aku bersyukur stase ini tidak terlalu melelahkan. Aku masih bisa berkesempatan memulihkan kesehatanku dan masih bolak-balik ke rumah sakit tempat dokter penyakit dalamku praktik.

 

Aku senang belajar Psikiatri, mungkin itu satu-satunya semangatku di sini. Aku bertemu dengan pembimbing yang baik dan kebetulan bisa banyak saling berbagi. 

 

Jujur saja aku senang ada berlama-lama dengan pasien-pasien dengan masalah kejiwaan itu. Kadang, aku bisa lama sekali di bangsal Cempaka hanya untuk mendengarkan mereka bercerita tentang waham mereka, halusinasi atau apa saja. Aku seperti melihat jiwa-jiwa yang kosong. Mungkin, kalau dulu mereka punya teman berbagi, mereka tidak akan sampai seperti ini.

Ada dua pasien istimewa untukku di rumah sakit ini. Salah satunya pasien yang aku buat status riwayat penyakitnya. Ia datang ke IGD di malam ketika aku tengah bertugas jaga. Ia datang dengan marah-marah, penuh emosi dan menyalahkan semua orang. Esok harinya, aku temui ia di bangsal, ia masih sama seperti semalam. 

 

Tugasku sudah kelar membuat status, tapi buatku, pasien bukan cuma obyek. Aku ingin berteman dengannya. Aku masih mengunjunginya, mendengarkan ia bercerita tentang apa saja. Aku tak membantah, tak menyela, tak menyalahkannya. Aku hanya ingin mendengarkan, karena rasanya memang dia hanya butuh didengarkan saat-saat ini.

 

Kejutan untukku datang di hari keempat ia dirawat. Ia menyambutku di depan bangsal, tersenyum dan memelukku! wajahnya berseri dan dia menggunakan make up di wajahnya dengan sangat cantik. Aku puji kemajuannya. aku katakan, "Mbak cantik sekali hari ini..." dan senyumnya semakin sumringah.

 

Hari-hari berikutnya aku masih datang menemuinya. Ia selalu terlihat senang saat aku datang. Ia yang awalnya tak ingin bertemu ibunya, akhirnya mau menemui ibunya, bahkan dengan senang hati memperkenalkan aku kepada ibunya. Ada rasa bahagia yang menyelinap di hatiku. Ada rasa haru. 

 

Setelah tujuh hari dirawat, akhirnya ia diizinkan pulang. Aku masih menemuinya sebelum ia pulang. Aku peluk ia erat-erat dan aku cium kedua pipinya. Ia nampak begitu senang. Dalam hati aku berdoa, semoga ia tak akan pernah kembali lagi ke rumah sakit ini.

 

 

Stase Tiga- Ilmu Penyakit Kulit Kelamin RS Husada Jakarta

 

Puji Tuhan stase ketiga ini aku masih diberi minor dan masih di Jakarta, karena ternyata terapi yang harus aku jalani membuatku stress. Tidak enak betul terapi ini. Aku masih tarik ulur dengan dokter internis ku soal terapi ini. Aku belum bisa menerimanya. Apalagi ini terapi jangka panjang. Rasanya berat sekali dijalani.

 

Stase Ilmu Kulit Kelamin ini tidak begitu banyak meninggalkan kesan untukku. Tapi aku senang stase di RS Husada, Jakarta. Masuk tidak terlalu pagi, jadi aku bisa naik commuter dari Bekasi ke Mangga Besar setiap hari. Aku suka sekali naik kereta. Stase di sini juga tidak terlalu berat. Tiga hari dalam seminggu kami masuk hanya dari jam 09.00-13.00 saja. Menyenangkan bukan?

Tapi tiga hari lainnya, kami masuk jam 09.00 sampai jam 18.00 kadang malah lebih, karena selalu ada bimbingan selesai poliklinik pagi. Kalau hari Jumat, kami biasanya berdansa ria. Seru sekali. Aku suka dansa. Dari kecil, aku suka menari. Hobi bahkan. Jadi, senang aja waktu punya kesempatan bisa menari lagi.

 

Stase Empat - Ilmu Penyakit Saraf RS Mardi Waluyo Metro, Lampung

Aku baru pulang dari RS Husada malam itu ketika seorang kawan mengabariku kalau ada ralat stase. Aku yang tadinya ditempatkan di RS Bhakti Yudha, dipindah menjadi di RS Mardi Waluyo, Metro, LAMPUNG! seluruh rasa lelahku karena pulang malam langsung sirna begitu aku tahu kalau aku akan kembali ke LAMPUNG! Jujur, aku tak membayangkan soal RS Mardi Waluyo ini. Aku membayangkan aku akan bisa main ke RS Imanuel setiap akhir pekannya. Bukankah itu menyenangkan. Kembali ke Lampung memang selalu membuatku bersemangat.

 

Berangkat ke Lampung sendiri dengan penuh semangat, sudah terbayang-bayang minggu depan akan main ke Bandar Lampung, kembali ke RS Imanuel, ketemu lagi dengan kakak-kakakku yang sudah aku rindukan teramat. 

 

Seetelah dijalani, stase di RSMW ini benar-benar menyenangkan. Aku tiba-tiba merasa begitu betah ada di Kota Metro. Aku senang kotanya yang tidak terlalu ramai, aku senang rumah sakitnya, aku senang dokter-dokternya, aku senang perawat-perawatnya dan yang paling utama....aku senang IGD nya....!!!

 

 

Ini stase paling berkesan dibandingkan staseku yang sebelumnya. Aku begitu bahagia. Apalagi saat bertugas di IGD. Semua perawatnya baik, hmm....agak berat hati juga sebenarnya mau bilang mereka baik. Lebih cocoknya sih mereka gila! Tapi justru itu yang membuat IGD menjadi tempat pelarianku. Rasanya tak ada hari aku lewatkan tanpa aku main atau sekedar bercanda di IGD. 

 

Kebetulan kawan-kawan satu stase ku juga orang-orang yang menyenangkan. Mereka iseng, senang sekali menggodaku. Kadang aku visit sambil menunduk terus, karena mereka selalu menggodaku dengan beberapa perawat di sana. Aku sampai seringkali mati gaya. Apalagi kalau sudah ke IGD, aku sih terpaksa diam saja deh. Kalah kalau harus satu lawan tiga. Aku yang awalnya berkawan dengan santai di IGD jadi terpaksa agak jaga jarak, karena mereka terlau sering menggodaku. Nyerah deh sama teman-temanku ini. Hobi banget menjodoh-jodohkan orang lain, padahal sendirinya belum punya jodoh. Hehehe.

 

Dan setelah begitu banyak kejadian manis di RS ini, saat waktunya pulang, aku sampai menitikkan air mata. Aku berat sekali rasanya mau meninggalkan Poli Saraf. Tak ingin kembali ke Jakarta. Aku masih begitu ingin ada di Metro.

 

Sekali lagi, Lampung meninggalkan kesan yang begitu mendalam untukku...

 

....................bersambung