Rabu, 13 Mei 2015

Empat Bulan di Perantauan

Lampung, 13 Mei 2015


Saya ini, dari kecil di Bekasi. Mainnya ya nggak jauh-jauh kalau nggak di Bekasi ya di Jakarta. Apalagi sejak SMA. Saya sudah sekolah di Jakarta. Kuliah juga di Jakarta. Pokoknya, jadi anak Jakarta.

Bukannya mau sombong soal jadi "anak Jakarta", tapi biar bagaimanapun, kalau kita terbiasa hidup di Jakarta, lalu pergi ke daerah di luar pulau Jawa, rasanya tuh sesuatu banget.

Semasa saya SMA, kuliah sampai lulus jadi dokter, saya lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Saya kuliah di daerah yang Jakarta banget deh. Bayangkan saja, kalau berangkat dari rumah, sampai kampus itu butuh waktu tiga jam. Apa nggak keren tuh. 

Ritme orang Jakarta, yang saya yakin pasti diamini orang-orang yang hidup di Jakarta adalah: maunya cepat, tepat, tergesa-gesa dan cuek. Ya kan?

Bertahun-tahun seperti itulah ritme hidup saya. Saya bisa pergi dari satu tempat ke tempat lain sendirian, di jalan bisa tiga sampai empat jam tanpa bicara sepatah katapun pada orang yang duduk di samping saya. Hmm...berhubung saya masih kuliah, jadi kemana-mana masih naik angkutan umum. 



Saya terbiasa pergi kemana-mana sendiri. Nyasar? itu sudah biasa banget. Lah, jalan kaki di kompleks rumah sendiri aja saya sering kesasar koq, apalagi kalau keliling Jakarta. Tapi anehnya, saya mah enjoy aja. Kalau sudah kepepet, tinggal berdiri di pinggir jalan, lambai-lambai tangan, berharap ada exmud (executive muda) bawa Fortuner ngajak bareng. Upps...ngayal...maksudnya, lambai-lambai tangan panggil taksi. Tinggal sebut salah satu nama tempat yang saya tahu...taraaaa....sampailah ke arena yang saya kenal. 

Itu baru soal kesasar....

Lain lagi soal cuek. Ya, walaupun ada sih satu dua orang yang suka nanya-nanya kalau pas lagi di angkutan umum, tapi rata-rata mah diam. Nggak ada yang suka bertanya maupun ditanya. kalau kebanyakan ditanya, apalagi kalau sama cowok ganteng, itu mah bisa dikira modus. Tapi kalau itu sih jujur saya nggak keberatan. Tapi, kebanyakan yang nanya itu ya orang yang biasa-biasa saja. Kalau kebanyakan ditanya, bawaannya malah takut sendiri. Jangan-jangan ini orang nanya-nanya karena mau mengalihkan perhatian supaya bisa mencopet dompet atau hp kita. 

Saya terbiasa hidup tergesa-gesa. Naik Transjakarta, harus buru-buru, supaya kebagian bis dan kebagian tempat duduk. Soalnya, capek cinnn kalau harus berdiri satu jam di atas bus goyang itu. Bukan sekedar capek berdiri. Bayangin aja kalau sambil bawa tas yang beratnya lima kilo. Belum lagi harus ekstra ngejagain dompet sama hp. Nah, mau tidak mau, semua harus "rebutan". Mau naik bis, berebut, naik commuter, berebut. Semuanya harus serba cepat, tepat melangkah dan sigap melihat tempat duduk yang kosong.

Sudah terbayang kan ritmenya orang Jakarta seperti apa? 

Simpelnya, saya bertahun-tahun hidup dalam pola hidup yang mengharuskan saya harus cepat, segera, berpikir dua kali lebih maju, tidak ada kata santai kalau pekerjaan belum beres dan saya dibentuk jadi seorang perempuan yang mandiri. 

Saya bangga koq jadi anak (numpang) Jakarta. Hanya saja kendalanya.... jreng jreng... Saya bekerja di luar Jakarta bahkan diluar pulau Jawa.

Sebenarnya ini jauh diluar dugaan saya. Setidaknya, saya pikir, ketika saya pergi dari Jakarta, saya masih berada di sebuah kota kecil yang masih julukannya "kota", ya walaupun nggak ada mall, nggak ada XXI, tapi setidaknya konsep "kota" itu ada.

Saya pernah ke kabupaten di Bengkulu. Jaraknya sih nggak begitu jauh. Satu setengah jam saja dari pusat kotanya. Kalau libur, saya naik travel sendiri atau cari tebengan, lalu jalan-jalan deh ke kota Bengkulu, nongkrong di Solaria atau di KFC, tinggal di hotel atau di paviliun. Kalau nggak berencana menginap, ya sore atau malamnya langsung pulang.

Dan...taraa...... Sekarang saya jauh dari kota. Tapi, untungnya sinyal internet masih ada. Buktinya, saya masih sempat menulis blog ini. Saya ditempatkan di daerah yang jauh dari kota. Bukan sekedar jauh, tapi jalannya juga luar binasa jeleknya. Astaga...kalau mau ke kota, saya harus berbekal korset lumbal, mencegah ischialgia saya jangan sampai kumat lagi.

Akhir-akhir ini saya sampai di satu titik jenuh. Selain jauh dari kota, di sini juga sulit untuk transportasinya. Saya tidak bisa bebas kemana-mana sendiri. Sebuah perasaan yang maha menyiksa untuk orang dengan tipe seperti saya. 

Saya yang biasanya bebas bergerak kesana sini sendiri, sekarang harus mendapati saya tidak bisa apa-apa tanpa bantuan orang lain. Stress?? Iya. Kemarin, saya mengajukan untuk mengundurkan diri dari tempat bekerja saya yang sekarang. Alasannya simpel saja, bukannya semua orang bekerja pasti butuh waktu juga untuk menghilangkan jenuh? Butuh waktu untuk sendiri? Nah, saya kehilangan semua waktu untuk diri sendiri. Saya kangen momen ketika saya punya waktu untuk diri sendiri. Pergi seharian sendiri, menikmati duduk-duduk di caffe, mengamati orang-orang di jalan. Sesederhana itu sebenarnya yang saya inginkan. Tapi apalah daya, saya ada di daerah yang jauh dari kota. 

Saya tipe orang yang kalau jam kerja, maunya selalu tepat waktu. Datang tepat waktu, pulang tepat waktu, di luar jam kerja, saya ingin punya waktu untuk diri saya sendiri. Contohnya ketika di Bengkulu. Senin sampai Jumat saya kerja, Sabtu Minggu saya kabur dari dunia kerja dan senang-senang sendiri sebelum hari Senin kembali lagi ke dunia kerja. 

Kalau saya sering dianggap "tergesa-gesa" saat bekerja, sebenarnya sih bukan tergesa-gesa, tapi saya berusaha kerja cepat dan tepat. Tergesa-gesa buat yang lain, sebenarnya biasa saja buat saya. Menurut saya itu ritme yang biasa, tapi orang lain melihatnya "ngoyo". 

Di Jakarta, kalau tidak cepat, kita ketinggalan bis, ketinggalan kereta, terjebak macet dan beribu hal lainnya. Jadi saya terbiasa juga untuk cepat. Saya ingin semua hal beres tepat pada waktunya.

Empat bulan ini jadi refleksi untuk diri saya sendiri. Jangka pendek, saya belum bisa kembali ke Jakarta, sekangen apapun saya sama Transjakarta, naik comutter, makan bakmi GM atau jalan-jalan ke Kota Tua. Jangka panjang, saya harus membiasakan diri dengan ritme yang baru. 

Kadang saya masih merenung sebelum tidur. Ngapain sih saya ke sini? Apa yang saya cari di sini? Saya menolak dua tawaran kerja di perusahaan, satu di sebuah klinik swasta di ibu kota. Saya menolak tawaran kerja di salah satu rumah sakit di ibu kota Lampung. Saya justru memilih ditempatkan di daerah terpencil ini. Ngapain? Buat apa? Kadang pertanyaan itu masih mengganggu saya.

Hidup saya enak di ibukota. Apa-apa semuanya ada. Semuanya mudah. Segala macam yang saya mau, saya tidak repot mendapatkannya. Saya bahagia jadi perempuan yang mandiri. Saya selalu ingin jadi perempuan yang mandiri. Tapi kenapa saya ke sini? Saya mulai ragu dengan keyakinan yang saya bawa diawal kedatangan saya ke sini.

Kawan-kawan bilang, pulang saja. Di Jakarta lebih enak. Ya. Saya kangen ritme hidup saya jadi anak gaul Jakarta. Ya, walaupun nggak gaul-gaul amat sih. Tapi sebulan sekali jalan-jalan ke mall kan lumayanlah.

Sampai kapan saya di sini? Saya nggak tahu. Benar-benar belum tahu. Saya masih mencoba menemukan ritme kerja yang baik. 

Saya mencoba untuk bersabar sedikit lagi. Tapi setiap kesabaran tentu ada batasnya. Kesabaran itu bisa terkikis. Dan saya tak membayangkan seandainya saya yang mengambil keputusan dan tiba-tiba menghilang. Berilah arti.... berilah makna, supaya ketika saya ragu, saya masih bisa tersenyum dan bilang kalau saya masih butuh di sini...