Jumat, 22 November 2013

Labirin yang Tak Lagi Perlu Diselesaikan

Begini...

Saya sedang mencoba peruntungan dengan berani masuk untuk menelusuri sebuah labirin...

 Ya...sebutlah itu sebuah labirin. Pernah tahu soal labirin?

 

Kita memulai masuk ke sebuah labirin tanpa membawa peta bukan? Kita menelusuri dan terus menelusuri hingga kita mencapai jalan keluarnya. Bukankah itu yang seharusnya terjadi bila kita memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah labirin? Cuma orang gila yang masuk dalam labirin dan membawa peta. 

 

Masuk ke dalam labirin adalah proses menemukan jalan keluar. Bukankah seharusnya demikian? Atau mungkin kalau kita tak juga menemukan jalan keluarnya, saya membayangkan seperti adegan di film Harry Potter IV dimana para pesertanya boleh mengirimkan tanda nyala api yang artinya mereka menyerah. Tapi sebelum nyala api itu dikirimkan, berarti sang peserta tetap akan menelusurinya sendiri, mencari Piala Api!

 

Saya pun demikian. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah labirin. Aku memutuskan untuk menelusurinya sampai batas waktu yang sudah aku tentukan. Lewat batas waktu itu, aku mungkin memilih menyerah. Tapi selama belum habis waktunya, aku akan tetap mencoba setiap lorong, setiap jalan dan setiap kemungkinan yang ada. 

 

Akan tetapi, tiba-tiba saja, ketika saya tengah menelusuri labirin ini, ada seseorang, yang mencekoki saya dengan sebuah peta jalan keluar. Saya tak suka. Saya tak lagi merasa ada serunya menjalani proses ini kalau di depan saya sudah terhampar jalan lurus. Mengapa saya tak dibiarkan sendiri mencari jalan keluar saya? Sekarang, saya seperti kehilangan seluruh gairah saya untuk melanjutkan permainan yang telah saya mulai. Saya tak lagi perlu mencoba setiap lorong, karena kemanapun mata saya menoleh, maka peta seolah dipaparkan dengan begitu jelas. Ketika kaki saya akan melangkah ke kanan, akan langsung muncul tanda silang, bahwa itu jalan yang salah. Jadi, apalagi nikmatnya meneruskan permainan labirin ini? Saya kehilangan momen-momen untuk menelusuri, mengerti dan bersabar. Saya kehilangan proses yang sebenarnya harus menjadi mutlak menjadi milik saya. 

 

Saya tak lagi bersemangat. Saya seperti sudah didikte untuk menyelesaikan permainan ini. Sekarang saya lebih bimbang untuk memutuskan apakah saya harus menyelesaikan permainan ini sekarang juga atau tetap berjalan dengan pasrah menuju jalan keluar yang ditunjukkan oleh peta paksaan itu.

Kamis, 07 November 2013

Karena Aku Rasa Apa yang Kau Rasa...

aku ingin berada di sisimu sepanjang malam, menemanimu, tidak ingin meninggalkanmu barang sejenak, maukah kau tau kenapa aku melakukannya?

aku hanya punya satu jawaban.....

aku merasakan apa yang kau rasakan malam itu......

 

aku tahu apa rasanya saat kita tak mampu mengatur debar jantung kita, tak kuasa melawan serangan yang tiba-tiba datang dan tak mampu berbuat apa-apa...

 aku merasakan apa yang kau rasakan malam itu....

 

banyak malam yang pernah aku lalui sebelumnya sendiri...begitu banyak malam, di mana aku harus menghadapi sendiri ketakutanku, kegelisahanku dan seluruh rasa sakitku, tanpa ada sesiapapun di sisiku. Tanpa ada yang membisikkan kepadaku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

karena itu, aku tak ingin kau merasakan pilu yang sama yang pernah ada di perjalanan hidupku...

 

mungkin orang berpikir betapa berlebihannya khawatirku malam itu, tapi ingin aku beritahu kepadamu, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja sebagai kapasitasku seorang dokter. di saat-saat seperti itu, biarlah aku yang menuntunmu, berikanlah aku kesempatan untuk menjadi dokter untuk orang-orang yang aku sayang..mencurahkan seluruh ilmu dan kemampuanku untuk mengurangi penderitaanmu...

 

aku pernah, berada di dalam kondisi betapa aku ingin ditolong, betapa aku ingin dibantu dan betapa aku sudah mengemis meminta bantuan, tapi tak seorangpun mengulurkan tangan, tak seorangpun percaya bahwa aku sungguh sudah tak sanggup menghadapinya...

aku tak ingin engkau merasakan segala pahit yang pernah aku telan sendiri...aku takkan pernah membiarkannya...

 

kalau aku marah..kalau aku menangis malam itu, sebab aku pernah berada di dalam kondisimu. di saat aku harus pergi padahal sebenarnya hatiku berkata tidak. Di saat aku harus menghadapi sendiri, padahal di sisi hatiku aku merindukan seseorang berdiri di sampingku, menemaniku melewati semua ini. Itulah sayang, mengapa aku tak rela melepaskanmu sendiri malam itu. 

 

 

Senin, 14 Oktober 2013

14-10-2013

14-10-2013

 

tadi pagi kami baru ngobrol santai. aku tertawa-tawa dan aku bahagia dengar suaranya. Tuhan, rasanya aku indu sekali padanya. tak sabar ingin segera bertemu. Ingin bisa memeluknya lagi, bersandar di dadanya hingga aku tertidur. 

 

Akan tetapi, akhir-akhir ini jutaan tanya selalu mampir di hatiku. Kenapa belakangan ini aku begitu cemburu padanya dengan teman-temannya? Aku tak begitu suka kalau ia (hampir) setiap malam kumpul dengan teman-temannya hingga larut malam. Bukankah aku ini pantas didengar? Kalau aku katakan aku tak suka, bukankah seharusnya ia mempertimbangkannya? Jadi mengapa hal sepele ini selalu berulang?

 

Kemarin, ia baru saja bilang padaku, kalau ia hanya kumpul-kumpul malam di malam minggu saja. Nah, bayangkan perasaanku, kalau perempuan lain, pasti sudah ngamuk-ngamuk dan mengancam putus. Masa malam minggu malah nggak disapa. Tapi aku mau belajar jadi lebih dewasa. Malam Minggu, malam Senin, malam Selasa, atau malam-malam lainnya, harusnya sama saja. Kalau memang ia berkesempatan dengan teman-temannya di malam Minggu, bolehlah aku memberikan keleluasaan baginya di malam itu. Toh malam-malam lainnya ia masih ada waktu denganku. Tapi akhir-akhir ini koq tidak ya?

 

Yesusku yang manis,

bukalah hatiku, tunjukkan rencana-Mu. Benarkah ia yang akan mendampingiku sepanjang hidupku nanti? Benarkah ia laki-laki yang Engkau sediakan untuk menjadi pelengkap di hidupku? Ada jutaan ragu yang mendera, Tuhan. Aku belum juga menemukan jawabnya. Hanya benar-benar bisa berdoa dan berserah.

 

Kalau ditanya soal cinta, aku cinta padanya. Saat siang itu ia rebah di pangkuanku, dan tanganku mengusap kepalanya dengan lembut, aku tahu aku mencintainya. Aku tahu aku tak ingin meninggalkannya. Tapi, aku toh tak boleh lalu menutup mata hanya karena aku mengasihinya. Ia harus mau berubah, harus mau mendengarkan aku, bila ia masih menginginkan aku ada di sisinya. 

 

Bukankah wajar kalau aku memintanya untuk mendengarkan aku? Aku sendiri pun belajar untuk selalu mendengarkannya. Ia bilang aku harus diet, maka aku jalani diet ini. Ia bilang aku harus pergi suntik, maka aku pergi. Tapi bukankah seharusnya kami dua arah? kenapa setiap aku yang memintanya untuk tidak pergi, ia selalu menyalahkan aku? Baiklah...tidak menyalahkan, tapi jarang ia benar-benar ingin mendengarkan aku.

 

Aku mulai khawatir dengannya. Aku merasa khawatir ini beralasan. Kenapa dia jadi hobi main tiap malam? Bukankah dulu dia bilang ia lebih senang di rumah? Bukankah dulu waktunya selalu banyak untukku? Sekarang, ditelepon saja ia sering lebih banyak mengantuknya daripada ngobrol denganku. 

 

Terlalu berlebihankah permintaanku padanya? Mengapa ia tak mau mendengar? Mengapa "jauh" selalu menjadi alasan? Bukankah aku pun sebenarnya bisa tak mengindahkan kalau dia memintaku melakukan sesuatu? Tapi aku memilih untuk mendengarkannya. Aku memilih patuh. Aku mau mendengarkannya. Nah, tidak bolehkah aku meminta hal yang sama? Atau ia sudah tak lagi butuh pandanganku, nasihatku, tak lagi butuh perhatianku? Mungkin teman-temannya lebih baik. Lebih bisa membuatnya tertawa. Oh ya, itu juga, aku sudah jarang dengar ia tertawa seperti dulu. Jarang mendengar ia menyanyi untukku lagi. 

 

Aku tak meminta romantisme bulan-bulan lalu itu harus selalu hadir, tapi bukankah seharusnya ia bisa fair? kalau aku senantiasa mau menunggunya hingga pulang kerja, mengapa ia menambah bebanku dengan menunggunya sampai ia selesai bermain? Kalau aku mau ngobrol, rasanya sepihak betul. Rasanya aku yang begitu ketergantungan dengannya dan ia tidak rindu bercerita denganku. Kalau ia rindu, bukankah seharusnya ia pun berusaha menghubungiku? Berusaha meneleponku atau menyediakan waktunya untukku dan tidak membuatku menunggu di tengah-tengah letihku sementara ia asyik bermain di sana.

 

Aku rindu ia yang menjelang tidur menceritakan keluh kesahnya, menceritakan isi hatinya dan mengharapkan suaraku lah yang terakhir kali didengarnya sebelum ia terlelap. Tapi rasanya, sekarang ia sudah tak butuh itu lagi.

 

Aku tak akan mengobrol kangenku banyak-banyak. Ia juga tak akan terlalu menggubris. Sekalipun aku rindu, biarlah aku simpan baik-baik perasaanku. 

 

Aku ingin jadi tempatnya bercerita tentang apa saja, tapi rasanya sekarang ia lebih nyaman bersama teman-temannya. Tiap kali ia bilang bahwa aku boleh meminta hakku untuk mengobrol dengannya, aku merasa seperti, hanya aku saja kah yang rindu? Tidakkah ia ingin tahu kabarku?

 

Sayang, taukah engkau, aku berkali-kali terlibat dalam masalah yang membuat kepalaku hampir pecah, tapi aku tak bisa bercerita padamu. Kau tak punya waktu. Kau tak pernah lagi ingat kapan aku harus suntik, kau tak lagi pernah tanya soal sakitku, kau tak pernah tanya bagaimana internshipku, bagaimana kelanjutan studiku. Tidakkah kau ingin tahu sayang? AKu berusaha melarikan diri dalam jutaan kesibukan. Aku kerja 9 hari tanpa pulang ke rumah, aku memaksa diriku untuk sibuk agar aku tak terlalu merasa begitu ditinggalkan. 

 

aku sayang padamu. Soal itu kau tak perlu meragukannya. Aku tak perlu menjelaskan sebesar apa sayangku untukmu. Tapi ada hal yang harus engkau pertimbangkan, bahwa akupun ingin bisa selalu berbagi denganmu tanpa engkau selalu mempermasalahkan jarak. Buatlah aku sesekali menjadi prioritasmu. Dengarkanlah aku sesekali.

 

Aku harus mengakuinya, kalau kau terlalu jauh melangkah sendiri, mungkin aku tak lagi sanggup menyamakan langkah..

Senin, 23 September 2013

Dua Puluh Empat Januari

  ada dua hati, sama-sama enggan meninggalkan persimpangan

aku dengan seluruh angan-anganku

dan engkau dengan seutuh masa lalu

tapi aku memilih untuk menerima, bahkan kalaupun semua berujung pada perpisahan,

aku memilih untuk bertaruh hati, sekalipun semua mencemooh

aku tahu hati masih benteng paling jujur, yang lebih mampu menopang

dibandingkan seribu cerca yang datang...

 

Januari adalah awal yang kita tuliskan mimpi-mimpi

masih selalu dibumbui romantisme yang kali ini membuat kita tertawa,

tapi urusan hati, di mana kita mampu mengukirnya?

 

Adalah keheningan malam yang mendaraskan rinai rindu,

aku dan sisa-sisa rutinitas

dan sebait kesabaran yang aku temukan di ujung hari..

terima kasih.. 

 

Kita berpesta dalam hati, setiap malam dan setiap semua tengah terlelap

aku mendekap erat bulir rindu yang menyeberang jauh dari untai yang terdengar

Kita bercengkerama bahkan ketika hanya sunyi yang merambat

di hela nafasmu masih tersisip sejuta asa

aku mengamini setiap kita memanjatkan doa dalam ritme yang sama

semesta tak pernah mewarnai kelabu yang terlalu membuat resah

 

Kita tak tahu kapan jalan pulang akan diluruskan dan kapan waktu untuk menjawab tanya

tapi akar-akar keteguhan hati tak pernah lesu

bahkan ketika samudera mengambil jarak

sudah, itu hanya bagian yang nanti akan selesai juga..

 

"terima kasih untuk perjalanan manis ini..terima kasih karena masih menggenggam hati dan tanganku, dan kita tetap berjalan, tetap percaya dan tetap memilih untuk tak saling melepaskan.."

 

 

 


Minggu, 04 Agustus 2013

Obstetri dan Gynekologi, Bandung dan Tiga Sahabat

dear: Tuty, Ainaa dan Iena
 
Masih ingatkah malam saat kita baca pengumuman stase keluar? Aku yang terakhir tahu. Kita berempat akan melalui hari-hari di Bandung bersama. Ya. Bandung. 
 
Mulai malam itu juga kita disibukkan dengan persoalan baru selain tentang ujian interna kita yang masih menanti. Kita sibuk mencari kamar di wisma rumah sakit. untungnya tak begitu sulit mendapatkannya. Kita akan tinggal dalam satu kamar. Ya. Berempat dalam satu kamar. aku agak sulit membayangkannya. Aku jarang bisa berbagi kamar. Harapanku, semoga kita bisa melalui sepuluh minggu ini dengan sebaik-baiknya.
 
 
Sebelum kita tiba di bandung, kita berempat sudah banyak mendengar tentang hal-hal apa saja yang ada di rumah sakit tempat kita akan menjalani kepaniteraan klinik bagian obstetri ginekologi ini. Ada yang membuat kita jadi lebih semangat tapi ada juga yang membuat kita resah. Tapi kita sudah sepakat, semua akan kita lewati sama-sama. ya. sama-sama.
 
Hari-hari di bandung tak seperti yang kita bayangkan. Tidak ada sama sekali waktu untuk bersantai. aku merasa kita jaga malam setiap hari. Ya. Setiap hari. Belum lagi berbagai hal lainnya yang membuat air mata harus jatuh bercucuran di stase kali ini. Mulai dari kita yang masih belum paham mengenai "apa maunya konsulen ini" lalu kita yang mencoba beradaptasi dengan berbagai pribadi di rumah sakit. Kita yang lalu terjerembab dalam lingkaran yang sungguh sama membingungkannya. 
 
Tidak semua berjalan mulus di Bandung. Sedih, tangis, marah pernah sama-sama kita rasakan. Pernah jadi bagian yang sekarang jadi kenangan buat kita berempat. Tapi aku pernah bilang kan, suatu hari justru stase yang "wah" seperti ini yang akan selalu terkenang di masa-masa kita sudah sama-sama lulus nanti. 
 
 
Di stase ini banyak hal yang membuatku cukup merasa berat menjalaninya. soal lelahnya. soal tugasnya. soal hal-hal lain. dan di stase kali ini pertama kalinya aku merasakan "opname". duh, kalian pasti tahu malam itu aku kesakitan. tapi lalu kita sama-sama terbengong-bengong melihat obat-obatan itu. lucu ya. aku masih ingat betul. masih kecewa. tapi ya sudahlah. aku tak bisa bilang banyak. cuma bisa menyabarkan diri, orang yang belum pernah merasakan chest pain tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya jadi aku. sudah, itu saja. 
 
aku sangat berterima kasih buat setiap harinya selama aku harus "pindah kamar" sementara. terima kasih sudah menyelundupkan makanan, terima kasih sudah menyelundupkan obat juga dan terima kasih pengertiannya untuk menggantikan jaga selama aku sakit. kalian benar-benar "adik-adik" yang manis (macacih...ciyuss...miapahh..)

di stase ini aku paling banyak pakai ketorolac. menurut catatanku, tak kurang dari tiga puluh dua ampul ketorolac. tanganku sampai biru-biru semua. belum lagi sulit menemukan vena untuk bisa suntik iv. aku ingat, kalian tak pernah mau disuruh untuk suntik iv buatku. 
 
di penghujung cerita di bandung pun kita masih tersandung masalah ujian. rencana jalan-jalan kita berantakan karena ujianku yang tertunda. tapi aku cukup bersyukur bahwa tak ada satu orangpun yang menyalahkan kita berempat (dan terutama aku). aku merasa cukup lega dengan hal itu.
 
hari-hari terakhir di rumah sakit tiba-tiba jadi membiru. terkenang nanti kita nggak bisa lagi makan indomie sama-sama, tak lagi ada pecel ayam yang enak itu, belum lagi soal KFC kegemaranku. tiba-tiba saja waktu yang tadinya terasa lambat berjalan kini malah sudah hampir sampai batasnya. 
 
tapi aku tetap sangat bersyukur kita berempat akhirnya menyelesaikan sampai di garis finish. dengan segala air mata, tawa dan serangkaian masalah, akhirnya kita berhasil "lolos" dari bandung juga kan?
 
terima kasih untuk sepuluh minggu yang ajaib. segala lucu-lucunya kita di kamar kalau sudah badmood, atau segala bercanda kita yang kadang keterlaluan, tapi toh akhirnya kita tertawa juga. 
 
cuma bisa bilang, sepuluh minggu ini menjadi salah satu yang termanis dan yang terbaik...
 
 
Bekasi, 22 September 2012

12 Stase 12 Kenangan (Bagian Empat-Selesai)

Stase 11 : Ilmu Kesehatan Masyarakat (Jakarta-Karawang)

Entah kenapa, stase yang satu ini selalu jadi momok yang paling ditakutkan, ya setidaknya begitulah menurut pendapatku setelah mendengarkan berbagai ragam cerita tentang stase ini dari teman-teman yang sudah lebih dulu menjalaninya. Katanya "Siap-siap pergi pagi pulang malam!" huaahhh.... kapan ya terakhir kali dapat stase yang pergi pagi pulang malam? Sampai sudah lupa karena beberapa stase terakhir ini tidak terlalu melelahkan.

Dan setelah dijalani, ya memang begitu adanya. Pergi pagi pulang petang (hmm..ralat..sangaaattt petang). Minggu pertama di kampus, tiga minggu berikutnya di Puskesmas Grogol dan di kampus, seminggu berikutnya lagi di kampus. Empat minggu berikutnya di Karawang dan satu minggu penutupnya di kampus lagi.

CAPEKKK????? Bangeeeettttt.......!!!!!!




Selama di Jakarta, jujur ada tidak ada pengalaman yang terlalu berkesan. Semua seperti sebuah rutinitas yang sangat teramat membosankan. Pagi pergi ke Puskesmas sampai jam 12 siang, lalu buru-buru kembali ke kampus, kadang nggak sempat makan siang pula, lalu lanjut bimbingan sampai petang sekali, pulang, tidur karena kecapekan, bangun tengah malam buat kerjakan tugas, pusing dengan penelitian, tidur menjelang pagi dan jam 7 pagi sudah harus bangun lagi. Ya bagitu saja tiap hari selama lima minggu. 

Apa aja sih yang dikerjakan? Kenapa sampai capek begitu? Penelitian! Itu yang bikin capek. Capek karena harus bolak-balik cari jurnal, cari bahan, kerjain ini itu, cari dosen pembimbing, bikin kuisioner, semua-muanya, bikin kepala rasanya mau meledak. Tapi ya, berusaha buat tetap calm down aja, soalnya semua koass harus melewati ini kan? This too will pass... Sabar aja, itu prinsipnya, kalau nggak, bisa psikosis nanti.

Empat minggu di Karawang agak lebih menyenangkan. Ada suasana baru dan jauh dari Jakarta itu selalu menyenangkan. Nggak ketemu macet, nggak ketemu gedung-gedung aja, tapi tiap hari bisa lihat sawah :)

Puskesmas tempat saya dan seorang rekan saya bertugas tidak begitu besar. Tidak begitu ramai juga. Jam 12 siang Puskesmas sudah (nyaris) tutup. 

Saya di sini ditempatkan bersama seorang rekan saya, sebut saja namanya Susi (eh..memang namanya Susi ya?) Setidaknya, dapat teman yang tingkat kewarasannya sama itu menyenangkan. Tidak terbayang kalau harus tinggal satu rumah dengan teman yang tidak cocok. Sudah di Karawang itu nggak ada hiburannya, temannya nggak enak, wah, itu sih pulang-pulang bisa konsul ke Grogol. Nah, sama Susi, semuanya jadi terasa ringan. 

Di Karawang di isi dengan pagi- siang tugas di Puskesmas, siang istirahat, sore ngobrol-ngobrol nggak jelas, malam juga hanya santai-santai. Harus saya akui, it was bored!

Tapi ada yang bikin senang sih waktu di Karawang, saya bisa ke Rengasdengklok, ke tempat Bung Karno pernah diasingkan menjelang kemerdekaan. Akhirnya nambah juga wisata sejarah saya. Oh ya, di sini juga ada serabi ijo yang ueeeenaaakk tenan. Pokoknya enak banget, apalagi pakai kuah durian. Top markotop deh!

Di Karawang, kami tinggal di rumah seorang bapak yang bekerja di BKKBN. Selama ini ya itulah tempat tinggal koas yang ditempatkan di Pedes. Wah, tinggal di rumah bapak ini, badan langsung melar semelar-melarnya, padahal saya bertekad mau ngurusin badan, lah malah jadi sebaliknya. Faktor pertama karena harus makan malam sama-sama (padahal biasanya saya sudah jarang makan malam) yang kedua, racun yang sesungguhnya adalah Susi! bayangkan, jam sembilan malam dia main ke kamar dan masih buka-buka wafer, chiki dan segala jenis cemilan. Haduhh...

Di Karawang, karena kami ke Kecamatan terpencil, Kecamatan Pedes, saya dan rekan saya menyaksikan sendiri bagaimana siswa-siswi di sekolah terpencil, melihat kondisi mereka membuat saya miris. Membuat hati ini seperti ingin menangis (atau malah sudah menangis?) Kondisi sekolah yang begitu seadanya, bangunan yang sudah tak kokoh lagi, tenaga pengajar yang pas-pasan. Sementara di Jakarta, sekolah internasional dengan bayaran selangit berdiri begitu megah. Seperti itukah kesenjangan dunia pendidikan kita?

Selama di Karawang, ada tiga kali kami berkumpul di Kota Karawangnya. Rasanya lucu saja, kami yang datang dari berbagai kecamatan di Karawang, kumpul bersama dan seolah punya seribu satu macam cerita untuk dibagikan. Serasa sudah sepuluh tahun tidak jumpa, padahal sih bar seminggu berpisah. Tiap kali harus berkumpul di dinas kesehatan Karawang, serasa reuni..

Satu minggu penutup kembali ke kampus dan mempersiapkan ujian evaluasi program. Kalau nggak ada sesi ke Karawang, pasti IKM ini nggak ada seru-serunya ya :)



Stase 12 : Ilmu Penyakit Mata (Ciawi)



Apa yang saya lakukan ketika pertama kali membaca nama saya ada di pengumuman stase yang menuliskan bahwa saya dapat stase Mata di RSUD Ciawi? Oke, harus saya tuliskan dengan sejujur-jujurnya... saya NANGIS!

Teman-teman bilang Mata di Ciawi itu "selamat menikmati deh Morin.." tentu saja kalimat ini diucapkan dengan senyum jahat, kayak mak lampir kalau mau merebus anak orang. (Kebayang kan 'gimana ketawanya?) 

Tapi mau bagaimana lagi, tiga kali ralat dan belum juga ada tanda-tanda saya dilempar ke Yogya, apalagi ke Lampung. Ya sudah, terima saja. Cuma lima minggu koq, lagian, kalau saya mulai badmood soal stase, saya mulai mikir apa yang akan terjadi setelah stase.. saya mau ketemu pacar :) 

Hari Minggu, saat tiba di kost baru, rasanya nggak semangat. Saya masih mengadu pada pacar sambil nangis, "Mas...nggak mau lah Mata di Ciawi..." Tapi kata pacar saya, "Adek pasti bisa. Mas yakin adek pasti bisa melewatinya.." Dalam hatiku mengamini, semoga semuanya berjalan lancar. 

Minggu pertama berjalan dengan sangat mendebarkan. Rasanya jantung selalu takikardi kalau sedang bertugas di poli, malam tidur gelisah, makan nggak enak, entah kenapa kepikiran terus soal stase ini. Padahal baru minggu pertama. Minggu pertama sih belum benar-benar bertugas, masih belajar sambil sesekali ikut melakukan pemeriksaan dengan teman-teman yang sudah lebih dulu di stase ini.

Minggu kedua, ketika sudah harus pegang pasien, jantung lebih-lebih lagi takikardinya. Apalagi kalau harus meletakkan status pasien di depan konsulen. Rasanya keringat mengucur deras dan tangan gemetaran.  Mungkin terbawa omongan teman-teman yang sudah menakut-nakuti duluan.

Tiap malam masih selalu telepon pacar buat mengeluh sana-sini, tapi pacar saya ini sabar sekali ya...nggak pernah protes kalau tiap malam saya mengeluh hal yang sama, katanya selalu, "Nggak apa-apa dek, nanti adek jadi pintar selesai stase.." 


Saya merasa lumayan beruntung, dulu saya pernah harus mengulang Mata di Semester Pendek (SP), dan saking ketakutannya saya nggak lulus lagi di SP itu (bayangkan, kalau saya nggak lulus, saya harus bayar BPP pokok lebih mahal daripada harga SKS Mata dan kesandung satu matkul itu nggak enak) jadi saya mati-matian belajar mata. Tiap pagi siang sore malam, kemana-mana bawa buku ijo, di dalamnya stabilo warna-warni sudah menghias, saking tangan saya nggak bisa diam kalau lagi belajar. Semua rangkuman, semua soal Mata, saya kerjakan dengan sepenuh hati jiwa raga, pokoknya saya harus lulus! Dan memang saya lulus. Bahkan saya ingat banget, waktu Try Out, dari 50-an orang yang ikut kelas cuma saya dan seorang teman saya yang lulus. Bangga? Lumayan, setidaknya itulah hasil kerja keras saya.

Lebih semangat belajar Mata lagi, karena waktu kami disuruh kumpul rangkuman di sebuah buku, di bagian gambar Anatomi Mata, saya dapat marka dari dosen Mata saya (yang juga konsulen mata di RSUD Ciawi) "gambar bagus, enak buat belajar" yihiiii...siapa nggak senang dapat tulisan seperti itu? di saat teman-teman lain dikomentari kurang ini itulah, punya saya dapat komentar positif, tambah semangat deh. Apalagi di halaman belakang tertulis "tulisan rapi, tetap pertahankan.." Padahal tugas itu saya kerjakan sudah sambil ngantuk-ngantuk.

Berbekal saya punya basic yang lumayan lah di otak saya tentang Mata, saya sudah tidak terlalu kesulitan untuk belajar Mata. Baca satu kali sudah langsung masuk di otak, karena memang hanya tinggal "memory call" saja. Itu toh gunanya saya dulu banting tulang, otot, darah, jantung, paru-paru, demi lulus Mata, ternyata terpakai di kepaniteraan.


Minggu selanjutnya sudah terasa lebih menyenangkan. Pagi-pagi setelah absen di detik-detik terakhir (Ya iyalah, harus absen sebelum jam delapan), duduk-duduk sarapan pagi dulu makan bubur ayam di depan RS yang enak banget (bolehlah saingan sama bubur ayam di RSUD Koja yang juga mantap). Lalu haha hihi sebentar di poli, terus mulai periksa pasien, bantu dan belajar dengan konsulen, pulang kelaparan, makan bareng sambil cekakak-cekikik buat mengurangi stress, pulang kost, mandi, TEPAR...

Di stase ini, kejadiannya hampir sama seperti waktu di Bandung. Saya yang paling senior diantara tiga rekan saya. Dan seperti kata kawan saya waktu di Bandung, "Yaelah Rin.. lu yang kakak kelas tapi lu yang di bully adik kelas, gimana sih, heran gue!" hahaha..ya ampun, saya juga nggak tahu kenapa. 

Kalau ada hal-hal yang harus dikonfirmasi, hal-hal yang harus ditanyakan, atau apa saja yang berhubungan dengan konsulen, maka sayalah yang didaulat harus bicara. Haduh..pingin rasanya jitak kepala adik-adik kelas saya satu-satu, dikira saya nggak stress apa kalau berhadapan dengan konsulen? Tapi karena saya kakak yang baik (anggap saja begitu) jadi selalu saya yang maju duluan.

Oh ya, di RS ini beberapa kali saya menghadapi orang asing (orang luar negeri) yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Dan herannya, (lagi-lagi efek kakak kelas yang menyedihkan, yang selalu di bully adik kelas) pasien-pasien asing itu selalu jadi bagian saya. Kadang mereka sengaja memanggil pasien, setelah dipanggil statusnya diberikan pada saya dan saya baru sadar kalau pasiennya orang asing, tapi sudah terlambat buat protes. Alhasil cuma bisa melotot ke arah teman saya yang sudah senyum-senyum penuh kemenangan. 

Minggu keempat dan kelima mulai lebih betah, mulai lebih bisa rileks di poli dan mulai bisa menyesuaikan diri. Sayangnya, karena lagi-lagi memberhentikan terapi, terpaksa beberapa kali harus suntik iv novalgin buat tetap bisa bertugas di poli. 

Stase penutup ini sangat berkesan. Iya sih, ngomong berkesannya pas di akhir stase. Hihihi. Nggak apa, yang penting berkesan. Kalau kata mama "Kamu itu selalu nangis di awal stase bilang berat lah, nggak betah lah, tapi giliran sudah kelar stase bilangnya kangen.." hehehe..

dan...1 Juni 2013....selesai sudah saya menjalani DUA BELAS STASE kepaniteraan. Langkah rasanya jadi lebih ringan mau pulang ke rumah, mau menghitung hari buat pulang ke Metro. Semuanya manis, semuanya indah.....kalau sudah selesai...hihihi...

Long Distance Relationship

Kalau saya bisa, saya nggak mau jatuh cinta sama orang yang buat ketemu dengannya, saya harus menempuh...
  • 1,5 jam dari rumah ke bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng- 30 menit di atas pesawat- 1 jam dari bandara Radin Inten II Tanjung Karang sampai ke Metro, atau..
  • 8-9 jam perjalanan darat dari Bekasi sampai Metro

Ya, sekali lagi saya katakan, itu kalau saya bisa. Sayangnya, dia, laki-laki yang membuat saya merasa yakin dengannya itu ya memang tinggalnya ribuan kilometer dari saya.

Kalau punya pasangan LDR yang mengerti benar arti komitmen dan serius dalam menjalani hubungan, LDR memang bukan momok. Semua dijalani dengan santai tapi tetap mengarah pada sebuah tujuan. Jarak bukan alasan segala pertengkaran, segala kecemburuan. Paling nggak, saya tahu kualitas pacar saya. :)

Enaknya LDR di saat saya masih harus menjalani masa studi antara lain:

  • saya lebih fokus menyelesaikan studi dan nggak perlu repot-repot mengatur jadwal kapan harus jalan sama pacar, nggak harus pusing membagi waktu
  • kalau sudah capek seharian dengan rutinitas, telpon-telponan tengah malam itu sudah nggak ada energi kalau buat hal-hal yang nggak penting seperti saling cemburu atau apalah, yang ada, kita cuma pingin ngobrol-ngobrol dan ketawa-ketawa
  • jadi jauh lebih mandiri, karena pacar kan jauh, nggak ada yang bisa dimintai tolong kalau kita butuh apa-apa. harus bisa mengatasi masalah sendiri
  • dan ketika datang hari yang kita tentukan bersama untuk bertemu...rasanya benar-benar tak terlukiskan. betapa mahalnya arti sebuah pertemuan, tapi bertemu di saat beban studi sudah kelar itu rasanya memang berbeda. senang-senangnya tanpa beban

Nggak enaknya LDR buat saya antara lain :

  • Kalau malam minggu jalan-jalan, kanan kiri depan belakang lihat orang pacaran dan saya cuma bisa senyum sambil gigit jari. 
  • Biar sudah sekangen apa juga, kalau belum waktunya ketemu ya nggak bisa dipercepat. Pertemuan kita benar-bnar harus terjadwal.
  •  ...nggg....nggak tahu apa lagi..
Dibilang susah ya lumayan susah, tapi dibilang seru ya seru aja. Saya sih ambil sisi positifnya aja. Pacaran biar tiap hari ketemu, kalau nggak cocok ya nggak cocok aja. Nah, gitu juga saya. Jarak nggak pernah jadi masalah. Kan ada telepon. Kalau hanya mau membicarakan masalah, via telepon juga bisa koq. Dan beruntungnya saya, punya pacar yang nggak kayak satpam, yang mau tau aja urusan saya. Dia percaya saya dan begitu juga sebaliknya. Cemburu dan curiga disingkirkan jauh-jauh. Buat apa menambah beban pikiran?

Pacaran bukan sekedar bertemu, jalan-jalan bareng atau berduaan melulu. Buat saya, tiap hari juga saya bisa berduaan dengan pacar saya walaupun lewat telepon. Tapi toh saya masih tetap bisa berbagi, masih bisa curhat masih bisa kangen-kangenan dan masih bisa saling mengenal karakter masing-masing. 
LDR itu cuma soal.....dengan siapa kita menjalaninya...itu saja.

Jumat, 02 Agustus 2013

Kesempatan (pernah) Ada

3 Agustus 2013


Kepada Matahari......


Apa menurutmu lucu ketika kita saling melihat satu sama lain dan saling menunjukkan ego? Apakah menurutmu ini sebuah permainan? Bahwa sebenarnya hati kita sama-sama terluka? Tertikam oleh kemelut yang sekian tahun kita bangun dan robohkan sendiri? Apakah menurutmu ini masuk di akal? Bahwa kita saling mempertontonkan hal yang diam-diam ingin kita terabas jauh di dasar hati?

Aku pernah meminta kesempatan seperti bertahun-tahun silam engkau memohon untuk diberikan kesempatan, tapi kesempatan yang kesekian kali memang tidak pernah tiba. Kita cuma bermain-main dalam labirin waktu yang tidak pernah kita perhitungkan kapan akan selesai.

Matahari,
Apa kau sama terlukanya denganku? Kalau tidak, mengapa rongrongan ini datang bertubi setelah sekian lama aku tak mendengar seluruh riuh kabarmu. Kita mencari, kita menemukan, tapi kita tak pernah saling rela untuk melepaskan. Ya kan?

Ya, aku sendiri terpuruk, dalam jeram yang entah di mana muaranya. Aku tahu bahwa butuh perjuangan dan kerelaan untuk berani tak menatap lagi ke masa lalu, tapi perkara perasaan, mengapakah sulit sekali? Aku hanya berpikir, mengapa setelah sekian lama, aku harus tiba-tiba takut kalau kau ada di sana, di sebuah gereja kecil, tempat kita biasa duduk berdua dan memadahkan Bapa Kami? Apa kau hadir di Ibadah Ekaristi minggu sore ini? 

Aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus takut berdahapan denganmu. Mungkin, aku takut untuk menyapa, takut tidak tahu harus berbuat apa. Apa kita harus berbasa-basi dan saling tersenyum lalu duduk terpisah atau duduk bersisian seperti biasanya. Aku tak mau terlalu banyak berspekulasi, jadi, lebih baik aku tak bertemu denganmu.

Aku pernah menuliskan kepadamu, "Matahari, semua orang menginginkan payung yang bagus, payung yang cantik, tapi ketika hujan datang, berapa banyak dari payung yang cantik itu yang tetap bertahan? Yang mampu tetap melindungimu dari terpaan angin dan derasnya air yang menerpamu? Yang satu mungkin patah karena jerujinya tidak kuat, yang lain mungkin koyak, sebab bukan kain yang bagus untuk dijadikan payung. Cantik itu luka, Sayang. Ketika hujan, orang tak akan melihat soal apakah payung yang kaubuka cantik atau tidak. Mereka tidak memperhatikan soal warna payungmu. Mereka hanya akan melihat payung itu dapat melindungimu atau tidak. Kau akan ditertawakan orang bila memilih payung cantik tapi tak bisa kau pakai untuk melindungi dirimu di saat hujan. Orang akan bilang kau membuang-buang uang hanya untuk payung yang terlihat cantik tapi sebenarnya tak ada gunanya."




Aku mengerti betul, hampir tidak mungkin kita bisa menyusuri jalan yang sama, walaupun kedepannya aku tak tahu apa rencana Tuhan. Tapi, pilihlah payung yang kuat dan mampu melindungimu. Jangan lagi membuang-buang uang hanya demi sebuah payung cantik yang bisa kau pamerkan hanya saat hari biasa, sedangkan saat hujan kau ragu membukanya, karena kau tahu payung itu rapuh.

Aku merasakan jerit pilu yang sama, yang senada dan yang masih tersisa di sudut hati. Tapi terkadang kta harus menghadapi yang bukan pilihan kita. Ya kan, Matahari?

Kesempatan (pernah) ada, dan kita sudah banyak menghabiskannya dengan terlunta-lunta mempermainkan perasaan masing-masing. Aku mengalah, Matahari. Maaf, kalau kemarin menyalakan sumbu cemburu di relung hatimu. Maaf kalau aku menyulut penyesalan yang tiba-tiba merambat di hati masing-masing. Aku sungguh tak tahu sampai sejauh apa kita mampu saling tersenyum dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

 


Surat Cinta

Ini musim gugur, minumlah anggur
Denting gitar
Terdengar dari belahan dunia yang hancur

Sambutlah gerimis, kelembutan akan mengurapi
Tanah-tanahmu yang mati. Langit tinggal lengkung
Kabut bergulung-gulung

Rauplah daun-daun yang jatuh, bunga-bunga yang luruh
Bayi-bayi yang terbunuh. Melewati bulan dan tahun
Melintasi abad dan milenium yang ngungun

Hiruplah genangan darah busuk, tumpukan tubuh hangus
Kepulan asap mesiu. Pertempuran demi pertempuran
Akan mendewasakan hidupmu

Arungi luas lautan, terjuni gelap hutan
Selami lubuk bumi. Kelaparan demi kelaparan
Akan membuat hari-harimu lebih berarti

Ini musim gugur, cintaku, ini bahasa sunyi
Denting piano
Sayup-sayup dari reruntuhan waktu

-Acep Zamzam Noor (Tulisan pada Tembok)

Kamis, 01 Agustus 2013

Saya, Kriteria Jones dan Perjalanan Panjang

Agustus 2006 yang lalu untuk pertama kalinya saya merasakan keluhan soal jantung. Yang saya keluhkan adalah sesak dan jantung saya selalu terasa berdebar-debar. Untuk pertama kalinya saya harus pergi ke dokter spesialis jantung karena sudah dua kali menemui dokter umum tapi keluhan tidak berkurang.

Apa rasanya masih kelas 3 SMA dan harus pergi ke dokter spesialis jantung? Takut. Pastinya. Apalagi saya harus menjalani EKG, minggu depannya juga echocardiografi, semuanya sempat membuat saya stress. Kemungkinan bahwa saya harus menggunakan obat-obat yang sekarang saa tahu bahwa itu adalah obat-obat untuk penderita gagal jantung, juga membuat saya sempat down. Obat-obatan itu antara lain: bisoprolol, ace-inhobitor dan hidroclortiazid + spironolacton.

Atas pertimbangan dokter spesialis jantung saya bahwa saya "akan baik-baik saja" sekalipun saya tetap ingin melanjutkan sekolah di fakultas kedokteran, maka sayapun meneruskan sekolah di Fakultas Kedokteran.

Keluhan semakin bertambah seiring dengan semakin padatnya jadwal kuliah saya. Jadwal kunjungan ke dokter spesialis juga jadi lebih sering dan selalu berakhir dengan penambahan analgetik saja. Tidak ada jalan keluar lain. Mulai dari paracetamol, asam mefenamat, naik ke piroxicam lalu meloxicam dan terakhir... ya sudahlah, yang terakhir tidak perlu saya sebutkan nama obatnya. Yang jelas, obat analgetik poten. Analgetik nomor satu. 

Di pertengahan semester, adalah masa paling berat dalam hidup saya. Saya ganti dokter dan banyak sekali perubahan terapi dan yang paling menyakitkan adalah tidak mudah melepas beberapa jenis obat yang sudah saya pakai selama bertahun-tahun. Gejala putus obat membuat saya kadang merasa putus asa.

Ketika masuk ke dunia kepaniteraan, dengan jadwal kegiatan yang semakin menguras energi, saya pun lebih sering kambuh, padahal setiap hari sudah mengonsumsi obat penghilang sakit. Kadang teringat bagaimana saya nyaris melampaui batas maximal obat-obat penghilang sakit saking begitu sakitnya dada saya (chest pain). 

Saat saya sudah tidak tahan dengan chest pain tersebut, saya putuskan untuk berobat ke spesialis penyakit dalam (kebetulan tidak ada spesialis jantung) di rumah sakit tempat saya tengah menjalani kepaniteraan klinik. Sangat kecewa karena dokter bilang saya ini stress. Saya sampai berpikir, sebegitu lemahkah mental saya? Masa stress saja sampai mencetuskan nyeri dada yang begitu tak tertahankan? Dan yang diberikan kepada saya malah obat-obat lambung, analgetik dan bahkan alprazolam. Saya baru stase pertama dan rasanya sedih sekali, masa iya saya begitu tak tahan banting? Kenapa saya harus ketemu lagi dengan alprazolam setelah hampir dua tahun berpisah? 

Selesai kepaniteraan stase pertama, saya kembali ke Jakarta dan mengajukan cuti satu minggu sebelum melanjutkan stase. Saya kembali menemui dokter spesialis penyakit dalam (konsultan kardiovaskular). Dan hari itu dokter bilang, "kita cek lab dulu ya.." Selain darah lengkap, salah satu pemeriksaan yang dicentangnya adalah ASTO.


Lima jam setelah pengambilan darah, saya mendapatkan kertas hasilnya yang menuliskan
hal-hal yang sungguh membuat tangan saya gemetar seketika itu juga. Di sana tertuliskan Leukosit saya 12.000 dan ASTO saya 400..............


Sebagai seorang dokter muda, saya tahu sekali apa artinya ASTO > 200. Saya tahu sekali, hanya saja saya masih berusaha menutupi apa yang saya tahu. Saya ingin menangis sebenarnya, tapi tak sampai hati. Ada mama di samping saya. Mama tanya, "Apa artinya ASTO 400?? Itu kenapa lebihnya sampai dua kali lipat?" Saya hanya bisa senyum sambil bilang, "Ada banyak kemungkinan sih, ya nggak tahu besok dokternya bilang apa." Padahal jujur di dalam hati, saya sudah ketakutan setengah mati.


Semalaman saya tidak bisa tidur. Pikiran saya hanya pada soal hasil pemeriksaan darah itu. ASTO 400 dengan keluhan jantung saya, tidakkah itu artinya reumatic heart disease? Ya Tuhan, kenapa harus saya? Saya tahu apa itu Reumatic Heart Disease, tapi itu seharusnya hanya ada di textbook! Hanya ada di soal-soal ujian interna di kampus, bukan di dalam diri saya! Saya teringat akan kriteria Jones, suatu kriteria yang digunakan untuk menegakkan diagnosis Penyakit Jantung Rematik dan setelah saya baca kembali, sesuai dengan keadaan saya, tapi tak pernah saya berpikir ke arah sana. Sama sekali tidak pernah. Hanya selalu terpaku pada Mitral Valve Prolapse.


Seandainya pun benar bahwa saya mengidap reumatic heart disease (RHD), berarti saya harus terapi penisilin dong? Harus suntik penisilin sebulan sekali? Saya benar-benar tak sanggup membayangkan. Rasanya dunia saya jungkir balik dalam semalam hanya karena soal ASTO!


Esok paginya saya kembali ke rumah sakit seorang diri dan membawa hasil laboratorium ke depan internist saya dan dia pun langsung bilang, "morin, ini reumatic heart disease! Koq bisa ASTO mu sampai 400!" dan saya tak mampu menahan air mata yang tiba-tiba saja menggenang di kelopak mata. "Saya nggak pernah tahu kalau selama ini kamu belum pernah cek ASTO. Ini benar-benar yang pertama kali?" Saya mengangguk lemah. Entah kenapa, hari ini internist saya nggak terlalu galak, mungkin dia lihat saya sudah sangat terpukul. Saya menyusut air mata yang sudah mulai mengalir dari kelopak mata. 


"Nggak apa-apa, Morin. Kita obati ya? Kan sekarang jadi sudah tahu apa penyebab chest pain mu selama ini." katanya penuh empati. Ia lalu menelepon bagian apotek dan menanyakan soal penisilin. Ternyata tidak tersedia.

"Harus ya dok, penisilinnya? Tiap bulan?"

"Iya. Kamu tahu kan terapinya?"

Saya mengangguk, "Nggak ada jalan lain?"

"Ya memang itu obatnya, Morin. Nanti saya coba tanyakan ke RSCM ya. Mana pin BB kamu, kasih ke saya, nanti saya bbm, saya tanyakan dulu ke teman saya di RSCM apa masih ada Penisilin di sana."

Saya pulang dan menangis sepanjang perjalanan pulang. Saya marah, tapi tidak tahu harus marah kepada siapa. Kenapa nggak sejak awal ketahuan kalau saya punya RHD? kenapa harus sepanjang ini jalannya?

Benzatin Benzil Penisilin 2,4 juta IU yang harus saya pakai akhirnya saya dapatkan di RSCM. Saya sempat menyesali, kenapa saya nggak alergi Penisilin? Dari sekian banyak orang yang alergi Penisilin, kenapa saya nggak termasuk di dalamnya? Sakitnya bukan main disuntik Penisilin secara IM. Dan sakitnya pun berhari-hari.

Saya langsung trauma, apalagi saya sempat merasakan kesulitan berjalan karena sakit bukan main setelah suntik Penisilin. Saya lalu "ngambek" dan nggak mau lagi lanjutkan terapi. Mana bisa saya harus menhadapi resiko "tidak bisa jalan" padahal saya sedang stase! Mana ada stase yang dikasih izin libur seminggu hanya karena saya harus suntik penisilin.

Sampai saat ini, sampai detik ini (hari kedua setelah saya suntik Penisilin 1,2 juta IU) saya masih belum bisa terima sepenuhnya bahwa saya harus memasukkan penisilin tiap dua minggu sekali (karena dosis saya bagi dua). Saya selalu trauma dengan rasa sakitnya. Bahkan dua kali opname karena serangan akut tak membuat saya jera. Saya jauh lebih takut disuntik penisilin IM daripada ditusuk jarum infus atau bahkan harus ditusuk setiap hari untuk memasukkan analgetik iv karena chest pain yang sering kambuh kalau saya sedang lelah. 

Tapi sekarang mungkin saya sudah lebih "ya sudahlah..." pasrah saja. Yang penting saya selalu buat perjanjian dengan dokter yang menyuntik, "dok, kalau sakit, tolong jangan dilanjutkan.." karena sekarang penisilin itu dicampur lidocain, jadi seharusnya tidak sakit, kalau masih sakit, artinya lokasi suntiknya yang salah. Dan ada seseorang yang sekarang marah-marah kalau saya nggak mau suntik. Dua hari lalu bahkan saya baru kena omelannya setengah jam. But i know, he cares...


Masih panjang perjalanan, masih sangat panjang. Saya masih butuh semangat, sebab saya tak mampu jalan sendirian. Saya masih butuh dukungan dan saya masih selalu butuh pelukan setiap kali habis suntik, setidaknya sebuah pelukan mengatakan pada saya, "Sabarlah, sayang, semua ini akan berlalu. Aku tahu pelukan ini tidak akan mengurangi rasa sakitmu, tapi setidaknya kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian. Ada aku yang mengerti kalau ini semua nggak enak.."

Suatu hari, saya percaya, semua ini ada ujungnya. Suatu hari, saya tahu saya akan sampai di garis finish. Tapi saat ini, setidaknya berikanlah saya sebuah pelukan atau minimal genggamlah tangan saya saat saya harus merasakan pedihnya ditusuk jarum, saya bosan cuma bisa menggenggam pinggiran bed tindakan.