Jumat, 31 Januari 2014

Perempuan yang Menulis dengan Air Mata

Aku tak ingin menulis dengan air mata
tapi lembar-lembar putih sudah jadi basah
goresannya tak menceritakan apa-apa
kecuali bila ku sentuh sendiri,
kertas itu mengalir darah....


Aku tidak ingin menulis dengan air mata,
tapi tinta-tinta sudah mengering dan beku
cuma sisa tetesan-tetesan air mata yang bisa terbaca
tanpa sinar ultraviolet sekalipun

Suatu hari, air mata akan menuliskan kepedihannya sendiri
membuat biografi dan mengejanya sendiri
ia melukis tidak dengan jari-jari,
tapi dari tiap rintihan pilu
dan lembar-lembar jadi basah
tapi tak mengering dibawah matahari

Suatu hari, cuma ada lembar-lembar basah
di setiap buku,
di setiap halaman majalah
dan di papan-papan reklame
saat itu, semua menulis dengan air mata masing-masing
karena kesakitan tidak lagi mampu diucapkan
kepedihan tak lagi bisa diceritakan..


Bekasi, 31 Januari 2013

Ada Malaikat Berjubah Cokelat

Dear Dewa

Malam ini saya sedang kesakitan, tapi berbeda dengan apa yang saya keluhkan beberapa tahun silam, waktu saya masih punya kamu. Waktu saya masih bisa menghubungimu kapan saja dan di mana saja. Waktu saya masih gadis kecil kesayanganmu.

 

Saya, kangen kamu....

 

Malam itu, saya bukan hanya sakit secara fisik, tapi juga lelah secara hati. Kau pasti lebih mengerti. Kau sudah paham. Saat itu saya selalu memanggilmu "Malaikat Berjubah Cokelat" sebab kamu seorang frater OFM. Pakaianmu sama dengan pakaian St. Fransiscus dari Asisi. 

 

Malam itu saya meneleponmu, menangis karena seluruh perasaan campur aduk jadi satu. Saya bilang saya lelah mengemis kanan kiri mau minta tolong supaya saya bisa sembuh, supaya saya bisa lepas dari ketergantungan opioid. Saya cuma menangis tersedu-sedu karena putus asa, dan kamu selalu jadi pendengar yang baik, kamu bilang, "Sweetheart, jangan putus harapan. Masih ada Allah yang baik dan kamu masih punya saya. Besok saya datang ya? Kita ketemu ya?" Saya mengiyakan. 

 

Malam itu tidur saya lebih baik. Diiringi sebuah SMS darimu, "Tidurlah yang nyenyak, sweetheart, jangan patah semangat. Masih ada aku, yang mendoakanmu. Besok kita cari jalan keluarnya sama-sama.."

 

Esok harinya, kamu benar datang. Tanpa menghakimi atau tanpa memintaku bercerita di awal, kamu mengajakku nonton di twenty one, lalu kita makan di sebuah restaurant, terakhir kita nongkrong di Dunkin Donut sampai larut malam. 

 

Saya suka jalan-jalan denganmu, walaupun rasanya aneh. Orang pasti mengira kita pacaran, padahal tidak. Kau, malaikat berjubah cokelat, yang selalu ada kapanpun saya membutuhkanmu.

 

Saya kuliah di Fakultas Kedokteran dan kamu kuliah Teologi. Kamu tak paham betul saya sakit apa, tapi ada satu folder di notebook mu yang menyimpan arsip-arsip tentang sakitku. Kamu dan saya sama-sama menjelajah dunia internet dan mencoba mendalami permasalahanku. Saya tertegun sejenak menatap layar notebook mu dan dalam hati saya berujar, "Terima kasih kiriman Malaikat Berjubah Cokelat-nya, Tuhan..." 

 

Di meja cafe itu juga saya meneteskan air mata, saya biarkan seluruh kelelahan tumpah di hadapanmu. Saya menangis tersedu-sedu dan cuma bisa bilang, "Saya harus cari bantuan sama siapa lagi? Saya mau konsul ke dokter jantung yang lain, tapi saya tidak punya uang.."

Kau mengatakannya dengan penuh kasih, "Kamu mau konsul ke mana? Saya temani ya? Saya biayai semuanya. Kamu jangan takut soal biaya, saya ada. Saya yang akan menanggung semua biayanya.."

 

Akhirnya saya memang bisa bertemu dengan dokter lain, semangatmu lah yang saya tanamkan di hati, sebab saat itu semua orang terlalu pengecut untuk membantu saya. Saya seperti seorang pengemis yang minta belas kasihan. Saya takkan melupakan kejadian itu, Dewa. Saya tak pernah bisa melupakannya. Saya masih sering sedih mengingatnya. Saya cuma bisa bilang, kalau saya masih berdiri tegar sampai di detik ini, tak lain karena di momen-momen paling menyedihkan itu, selalu ada kamu, yang tak pernah melepaskan tangan saya barang sejenak. Kamu jaga saya baik-baik, kamu rangkul saya untuk tetap berjalan dan kamu tak pernah menghakimi saya. Kamu selalu mendengarkan saya dan selalu bilang, "Jangan pernah merasa sendiri. Saya ada, kapanpun kamu membutuhkan saya..."

 

Saya ingin sekali meneleponmu lagi, mengirimimu sms atau seperti natal-natal kemarin, kita saling berkirim hadiah dan kartu ucapan. Saya kangen kamu. 

 

Saya berdoa kamu bahagia dengan pilihanmu saat ini, Dewa... jalan yang kau pilih, keputusan yang kau buat,saya tahu kau sudah memikirkannya matang-matang. Saya selalu dan masih selalu berdoa untukmu. Saya pernah bilang padamu, "Kalau saya menikah nanti, harus kau yang memimpin ekaristinya.." dan kamu mengiyakan. Ternyata, jalan ke depan jauh berbeda. Kamu memilih untuk melepas jubah cokelatmu dan kembali menjadi awam. Saya berdoa untukmu, Dewa. Senantiasa berdoa. Kalau kelak akhirnya kamu temukan seorang perempuan untuk mendampingi hidupmu, ia pasti perempuan yang sangat berbahagia, mendapatkan laki-laki sebaik dan setegar kamu. 

 

Saya masih ingat awal perkenalan kita, Dewa. Saya, yang masih begitu senang memberontak dan kamu yang penuh dengan kasih seperti malaikat. Saya hampir nekad pulang dari reat-ret dan kau yang membuatku lebih nyaman. Katamu, "Kalau kamu ingin pulang, pulanglah besok. Saya yang akan mengantarmu. Tapi kalau kau mau bertahan, bertahanlah hingga lusa dan saya janji takkan memaksamu mengikuti kegiatan apapun di sini. Kamu boleh menyendiri, boleh menikmati seluruh waktumu sendiri."

 

Saya sedang di Jakarta, Dewa...dan betapa inginnya saya bertemu denganmu. Banyak sekali hal yang ingin saya ceritakan. Saya ingin jalan-jalan lagi denganmu, ngobrol sampai malam di cafe yang sama dan saya ingin menagih janjimu, "Kalau kamu sudah jadi dokter nanti, mau nggak seminggu sekali kamu ke panti? Kami butuh dokter..." saya mau... Ya. Saya mau. Kamu harus membawa saya ke sana. 

Kamis, 23 Januari 2014

24 Januari, Setahun yang Lalu....

Selamat malam, Mamasku....


Dua puluh empat Januari setahun yang lalu, adalah salah satu malam yang akan selalu ada di dalam laci kenangan di girus-girus cerebri ku. Salah satu malam paling mengesankan, paling menyita seluruh hari-hari dan satu malam paling mendebarkan.

Aku tak ingat malam itu kau memintaku menjadi kekasihmu. Diantara jarak yang begitu jauh, yang memisahkan tatapanmu dan tatapanku, aku tak ingat pernahkah kau menanyakan "Maukah kau jadi pacarku?" Aku hanya ingat, kalimat itu memang tidak pernah ada...tidak pernah kau ucapkan..juga hingga puluhan juta detik yang sudah kita lalui berdua. Kau tak pernah memintaku menjadi pacarmu. 

Malam itu, tak pernah aku lupa, kau menuliskannya dengan sangat manis, "di usiaku yang sudah setua ini, aku tak lagi mencari pacar hanya sekedar untuk main-main, aku mencari perempuan yang mau mendampingiku seumur hidup.."

 

Kekasihku..............
aku menuliskan sebuah gurat nama di permukaan hati 
dan tak lagi menorehkannya dengan tinta yang pudar dihapus waktu
kuukir dengan perjalanan hari-hari
yang kemana aku pergi, tak sejenakpun tertinggal 

Kita pernah melawan waktu dan meringis pilu
kala malam digilas rindu yang entah kan bertepi dimana
kita melewatinya
diantara rajam-rajam yang mencemooh
dan duri-duri yang menyakiti panjangnya penantian
tapi adakah kita memilih untuk saling melepas?

Semua doa rindumu telah berlabuh di pesisir hatiku
dan untai novena ku selalu menemani setiap langkahmu
hanya bait-bait ketabahan dan hasrat menyimpan setia
yang akhirnya selalu membawamu pulang
dan menghadirkan kembali aku di dekap eratmu

24 Januari, setahun yang lalu...
ketika perjalanan dimulai dengan empat belas tanya
dan aku tak pernah menyajikan jawab
kecuali "ada aku di setiap kau ingin berlari  karena luka"


24 Januari, setahun yang lalu...
dimulai dengan mimpi yang tak terlalu tinggi
kau sapukan siluet manis yang selalu menghadirkan senyuman
dan aku tak pernah jemu menuliskannya
bukankah akhirnya kita diarahkan mencintai keindahan yang sama?
aku dan lembar-lembar puisi dan kau yang menjadikannya sketsa 

Aku tau tulisan mampu bicara, tapi kau menjadikannya lebih dari sekedar bicara
goresan kata yang kau terjemahkan menjadi hidup di atas kanvasmu
lalu kita bercerita tanpa seorangpun mengerti
sebab sejak itu, dunia yang kita kukuhkan, memang hanya aku dan kau
yang mampu menekuni isyaratnya...

Tiga ratus enam puluh lima hari sudah terlewati...
aku masih ingin bergulat di dunia kita yang menyuguhkan begitu banyak warna
aku masih ingin terus menulis sembari menemanimu melukis..
aku ingin hidup tanpa akhir
kecuali kita mengakhirnya di atas lembar-lembar yang di atasnya penuh riwayat kita
dan ribuan mahakarya yang pada akhirnya menenggelamkan aku dan kau 




~terima kasih untuk setiap waktu yang kita lalui berdua, sekalipun aku di sini dan kau masih belum mampu kudampingi setiap waktu. Teduh tatapanmu selalu meredakan segala rasa khawatirku, dekap erat pelukmu selalu menyatakan semua akan baik-baik saja dan satu kecup di kening selalu menyatakan betapa berartinya aku untukmu




with love..

24 Januari 2014