Sabtu, 22 Februari 2014

Dalam Kenangan, dr Abdul Mun'im Idris, Sp.F (bagian satu)

Aku masih berstatus mahasiswi di sebuah Fakultas Kedokteran swasta di Jakarta tahun 2011 ketika pertama kali berkesempatan bertemu dengannya. Bagaimana bisa sampai bertemu? Wah, itu sebuah cerita yang panjang. Tapi yang jelas, sudah sejak aku duduk di bangku semester tiga, aku mengidolakan dokter Forensik yang satu ini. Dokter Abdul Mun'im Idries, Sp. F (K). Entah mengapa aku mengidolakannya. Awalnya, aku hanya menyukai dunia Forensik, lalu tak sengaja menemukan namanya dan akhirnya berkesimpulan bahwa beliaulah yang akan aku jadikan panutan kalau kelak dapat melanjutkan sekolah spesialis.

 

Aku bertemu dengannya pertama kali di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik (IKF) RSCM-FKUI. Pertama kali menginjakkan kaki di bagian IKF, jujur saja aku merinding. Tak sedikit cerita horor yang pernah kudengar mengenai kamar jenazah rumah sakit ini. Wajar saja kalau cerita horornya banyak, karena, yang datang ke sini bukan jenazah-jenazah meninggal secara wajar. Yang ada di sini, semua jenazah yang sebab kematiannya dianggap tak wajar. Kecelakaan, keracunan, pembunuhan atau bahkan bunuh diri. Tak ada yang meninggal karena sakit kanker parah lalu dibawa ke sini. Kematian yang dianggap tak wajarlah yang akan masuk ke ruang Forensik.

 

Aku sudah sering melihat sosoknya di televisi, sering melihat wajahnya muncul di koran-koran besar. Maklum, ia seorang ahli Forensik yang paling disegani. Kawan dan lawannya banyak. Sebutlah namanya, tak ada seorang pun yang tak mengenalnya. Ia selalu menangani kasus-kasus besar di negeri ini. Pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, sebutlah kasus-kasus besar di negeri ini, pasti semuanya melibatkan namanya. Kasus Marsinah, kasus Tragedi Trisakti, Kasus Antasari, penyanyi Alda Risma, penyaniayaan Manohara. Semuanya dipegang olehnya. Ia terkenal akan kemampuannya, dedikasinya serta keberaniannya dalam mengungkap suatu kasus. Aku banyak mendengarkan ceritanya mengenai saat-saat ada di persidangan. Kesimpulanku: dokter yang satu ini betul-betul cool!

 

Aku betul-betul gugup waktu pertama kali bertemu dengannya. terbayang di benakku, seorang dokter Forensik yang kaku, tegas, bersorot mata tajam dan tak banyak bicara. Aku betul-betul gemetaran waktu pertama kali bisa bertemu. Seminggu sebelum hari yang kami janjikan bersama, aku sudah sering susah tidur memikirkan hari-H itu.Pikiranku melayang kemana-mana. Masa sih dr AMI mau menemui aku yang bukan apa-apa ini? Masa sih dr AMI punya waktu? Aduh, nanti kalau ketemu mau ngapain ya? dr AMI mau nggak ya kalau diajak foto bareng? Semua hal berputar-putar di pikiranku seminggu sebelum kami bertemu. Ya maklum saja, yang aku akan temui ini bukan sosok yang biasa saja. Ia idolaku, tapi lebih daripada sekedar idola, ia adalah orang yang punya nama di negeri ini. Saya seperti semut yang mimpi ketemu kijang kencana. 


Tapi tak bisa aku pungkiri, aku tak sabar menunggu saatnya bertemu. Membayangkan sosoknya, membayangkan mimpiku sebentar lagi jadi nyata.

 

Aku mau ketemu dr Abdul Mun'im Idries, Sp. F  (AMI)!!!!!

 

Rasanya seperti mimpi bisa punya kesempatan bertemu dengannya. Dengan idolaku. Seseorang yang pernah sangat aku harapkan akan mengajar di kampusku, akan tetapi ternyata harapan cuma tinggal harapan, karena ketika blok Forensik datang, tak ada nama dr AMI di kertas jadwal kuliahku. Pupus sudah harapan ingin melihat langsung dokter Forensik idolaku. Pupus sudah harapan ingin minta tanda tangannya di buku Forensik karangannya yang sudah khatam kubaca setahun yang lalu. Tapi sebentar lagi.....impianku bertemu dengannya akan segera terwujud!

 

Bagian IKF RSCM memang memberikan kesan tersendiri saat pertama kali kita menjejakkan kaki. Orang lebih mengenal ruangan ini sebagai kamar jenazah. Lucu rasanya kalau mengingat kejadian itu. Ketemu idola koq di kamar jenazah. Hehehe. Biasanya kan bertemu di cafe atau di kantornya, lah ini di ruang mayat!

 

Arsitektur gedung masih terasa sebagai gedung lama, belum lagi pintu tinggi gaya Belanda yang membatasi ruang tunggu dengan ruang autopsi. Ketika membuka pintu itu, aku berdebar kencang. Takut kalau tiba-tiba melihat jenazah yang sudah tak karuan bentuknya. Walaupun cita-citaku jadi dokter Forensik, tapi rasanya belum siap kalau harus lihat sekarang. Tapi pagi cerah itu memang sedang tidak ada jenazah. Aku masuk berdiri di depan kamar autopsi, menunggu dr AMI yang tengah berada di kamar jaganya. Di sebelah kiriku ada sebuah timbangan raksasa. Setelah aku menjalani kepaniteraan klinik di bagian Forensik, baru aku tahu kalau itu adalah timbangan untuk jenazah. Jangan sekali-sekali menginjak timbangan itu, karena mitosnya, jenazah akan berdatangan tak habis-habis. Kalau sitilah kami "manggil tamu".

 

Begitu aku menemui sosoknya yang kecil namun nampak begitu bersahaja, aku menyalaminya dengan penuh semangat. Ya Tuhan, ini bukan mimpi kan? Aku benar-benar melihat sosok yang biasanya hanya aku kagumi di layar tivi itu kan?


Dr AMI mengajakku mengobrol di kamar jaganya. Sialnya, kamar jaga konsulen itu letaknya tak jauh dari kamar autopsi, jadi agak deg-deg-an juga sih setiap kali melihat lurus ke depan. Lagi-lagi takut ada jenazah lewat. Entah kenapa masih agak takut saja melihat jenazah yang masih segar. Kalau yang sudah diawetkan dengan formalin sih sudah sering lihat saat masih praktikum anatomi di tingkat satu. Tapi kalau yang masih segar, belum pernah lihat.

 

Tiga puluh menit lebih aku ngobrol dengannya. Duduk berhadapan dengannya di ruang jaganya. Ia tengah menikmati segelas nescafe hangat sementara aku mendengarkan ceritanya. Tak ada kesan ia seperti baru bertemu denganku. Ia langsung menempatkan diri sebagai sosok yang bisa diajak ngobrol, bercanda dan bertukar pikiran. Hilang sudah kesan kaku, galak bahkan menyeramkan yang sebelumnya sempat singgah di benakku.


dr AMI tahu aku mengagumi Bung Karno, jadi kami ngobrol soal Bung Karno, selain itu juga kami mengobrol  soal Tragedi Trisakti, soal Antasari. Senang rasanya punya kawan berdiskusi seperti dr AMI. Kesempatan yang mungkin takkan aku dapatkan untuk kedua kalinya. Aku pernah berkunjung ke blog yang ditulisnya. Lalu aku katakan, "kenapa tak diterbitkan saja blog itu, dokter?" Lalu ia jawab, "Ya, saya memang sedang buat buku.."


belakangan aku diajaknya pergi ke ruang kerjanya. Ada rasa bahagia yang menyelinap diam-diam di hatiku yang terdalam. Tak menyangka, seorang dokter Forensik yang terkenal, sangat disegani, super sibuk, tapi ia mau meluangkan waktunya untuk aku. Siapa aku ini? Mahasiswi dari fakultas swasta, bukan siapa-siapanya, tapi ia tak pernah menganggapku sepele. Ia memperlakukanku seperti kawan lama. Bicaranya ramah, tak ada kesan pongah atau sombong. Ia begitu antusias bercerita dan aku bersemangat mendengarkannya. 


Ruang kerjanya ada di paling ujung ruan IKF ini. Sebuah meja besar dengan tumpukan buku, dokumen dan barang-barang pribadinya. Ada sebuah foto di meja kerjanya. Foto yang sama seperti di halaman pertama buku karangannya. Ia mengatakan, "Ini foto saat ekshumasi di Aceh. Saya dikasih wartawan." Saya katakan padanya, foto itu bagus. Ia nampak dalam wajah serius, di salah satu sisinya, ada bendera merah putih. Suatu kondisi yang sangat pas. 

Saat di ruang kerjanya itulah saya pertama kali melihat draft buku yang akan diterbitkannya. Judul aslinya Rekam Jejak Ahli Forensik dr Abdul Mun'im Idries, Sp. F. Buku itu sempat saya pegang walaupun tak sempat saya baca. Belakangan, buku itu akhirnya terbit dalam dua bagian. Bagian pertama diberi judul Indonesia X-Files dan bagian kedua diberi judul Dunia Forensik itu Lucu. Sayangnya, saat buku keduanya terbit, ia sudah lebih dulu kembali ke surga. 


Pertemuan kami Minggu siang itu ditutup dengan aku meminta untuk foto berdua. Ia langsung menyanggupi dengan senang hati. Aku masih ragu-ragu berdiri di sisinya, namun ia nampak santai dan meminta salah seorang koass di sana untuk mengambil gambar kami berdua. Ya Tuhan, tak terlukiskan bahagianya aku siang itu. Rasanya benar-benar seperti mimpi. Aku cubit sendiri tanganku saat perjalanan pulang. Aku nggak mimpi! Aku barus aja ketemu dr AMI! 


Ia memberikanku sebuah buku berjudul "Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi Praktisi Hukum" yang langsung ditandatangani olehnya. Buku itu masih aku simpan baik-baik hingga saat ini. Buku yang tak ternilai harganya untukku. Tiap kali melihat buku itu, aku masih selalu teringat sosoknya. Sosok kecil yang begitu ramah, begitu terasa dekat, tak pernah memandang rendah kawannya, seorang teman bicara yang menyenangkan dan sosok yang sangat luar biasa.


"Papi, selalu terkirim doaku untukmu...semoga Papi sudah bahagia di sana. Aku yakin, Tuhan telah menyediakan tempat yang terbaik bagi seorang yang begitu berpihak pada kebenaran seperti Papi...Salam rindu, semoga suatu saat, kita masih bisa bertemu kembali..."


-Bengkulu, 22 Februari 2014


Kamis, 06 Februari 2014

#30HariMenulisSuratCinta: Day 6: Kakak Perempuanku Tersayang...



My Sista...

 

 

Mimpi apa aku semalam, bisa jaga IGD dengan perawat perempuan paling jutek, judes, gak ada enak-enaknya deh dipandang. Saya kasih seratus ribu kalau ada koass yang bisa bikin perawat terjutek se-Lampung itu tersenyum!!

 

Namanya, Tirta Amerta Sari....aduh...kemayu betul kan nama itu, tapi sumpah demi soto di belakang Rumah Sakit Imanuel yang enak itu, orangnya gak ada kemayu-kemayunya. Tomboynya nomor satu. Dia lebih jago kungfu kayaknya daripada dandan. Ayo taruhan? 

 

Tapi saya sayang kakak.....*pake wajah manis sambil kedip-kedip*

 

Kakakku sayang,

Aku masih ingat koq bagaimana penampilanku waktu pertama kali memulai kepaniteraan. Kucel. Kumel. Nggak pernah memoles make-up di wajahku. Aku masa bodo. Aku cuek aja. Peduli apa soal make up, yang penting isi otak. Yang penting, kalau ditanya konsulen "Ada berapa jenis derajat luka bakar" aku bisa jawab. Itu yang penting.


 

Tapi katamu, perempuan itu perlu terlihat cantik. Kenapa kita membiarkan diri kita kucel kalau sebenarnya kita bisa nampak cantik? Biar orang lihat kalau kita nih cantik, kita bisa kayak artis di tivi-tivi itu dan lebihnya, sudah cantik, dokter lagi. 

 

Awalnya aku masih ragu, tapi akhirnya aku coba juga. Mengusapkan pelembab di pipi, memoleskan bedak, menggaris alis dan memoles lipstik tipis-tipis. Apa kakak tahu, hari itu sedikitnya empat orang perawat di bangsal menggodaku, "Cieee...morin cantik loh hari ini. Koq tumben dandan.." aku GR sih...sedikit. Hehehe.


 

Sejak saat itu, aku mencoba dandan. Aku mulai memperhatikan kemejaku, memperhatikan rok-ku, semua rok dibawah lutut aku pangkas. Sexy sedikit boleh dong? Biar orang melirik, toh aku masih sendiri. Dan aku menikmati periode itik buruk rupa menjadi angsa putih. Aku menikmatinya. 

 

Aku tak tahu hal apa sebenarnya yang membuat kita awalnya dekat. Soal bolus iv pertama kali? Atau soal aku pernah ingin kau jodohkan dengan seorang kawanmu? Sebenarnya ia keren sih, tapi dulu kan aku itik buruk rupa, jadi mungkin dia tak tertarik. Kalau sekarang...dia nyesal nggak ya? Hehehehe.

 

Terima kasih pernah mengajariku suntik iv untuk pertama kalinya. Secara teori, semua sudah diluar kepala, tapi begitu harus praktik, rasanya gemetaran. Tapi toh aku bisa juga, walaupun masih grogi. Itu jadi pelajaran buatku, ke depannya, aku lebih percaya diri. Di beberapa rumah sakit bahkan aku jadi seniornya, mensupervisi teman-teman untuk belajar suntik iv. Aku hanya mengerjakan yang sulit-sulit. Kalau yang mudah, semua sudah kuberikan pada teman lain. 

 

Beberapa hari yanglalu, aku dapat pasien intoksikasi organofosfat di IGD. Apa aku panik? Nggak sama sekali. Aku sudah tau apa saja yang harus aku kerjakan. Pasang infus, bilas lambung, Sulfas Atrofin dan Pantoprazole. Semua siap dikerjakan. Aku tinggak memberikan instruksi. Tahukah kakak darimana aku belajar itu pertama kali? Di RS Imanuel. Ketika aku harus rela pulang lebih telat karena ada pasien intoksikasi sabun cair. Aku yang bermandi muntahannya, aku yang pasang infusnya. Aku yang ada di sana. Sekali lagi juga di RS Mardi Waluyo. Seorang pasien intoksikasi obat penenang. Aku yang pegangi botol bilas lambungnya. Malu karena berjas putih tapi pegang-pegang botol? Sama sekali nggak. Aku kerjakan seluruhnya dengan senang hati. Dan ketika akulah yang harus menjadi penangung jawab, aku tak lagi canggung. Aku memberikan instruksi tanpa ragu. 


Aku tidak tahu kenapa aku begitu mencintai IGD. Mungkin karena aku tipe orang yang senang kerja dengan ritme yang cepat. Atau mungkin juga karena aku menikmati melakukan tindakan ketimbang harus belajar teori di RS. Dan biasanya, harus kepada perawat yang jutek itulah aku belajar. Nggak tahu kenapa. Di beberapa rumah sakit selalu begitu. Teman-temanku pernah tanya, "Kenapa sih kamu dekatnya selalu sama perawat yang paling jutek?" Aku bilang, "Mungkin karena aku harus tebal muka kalau mau dikasih tindakan atau juga mungkin mereka tahu, aku nggak cuma jual muka, nggak cuma absen di IGD. Aku mau belajar. Aku harus bisa melakukan apa yang mereka bisa. Aku nggak mau cuma bisa kasih perintah. Aku harus terampil juga mengerjakannya."


Kata Mbok Prapti di RS Imanuel, "Jangan pernah menyerah. Sesulit apapun, jangan pernah menyerah." dan jadilah aku yang "disetrap" harus berhasil pasang infus di tangan perempuan yang venanya nggak kelihatan. Tapi harus bisa. Harus sampai dapat, kalau nggak, aku nggak pulang.


Sekarang, ketika bertugas di IGD, aku sudah terbiasa dengan ritme kerjanya, aku sudah terbiasa untuk memberikan instruksi sesuai dengan apa yang harus dikerjakan. Bagianku kini memang sudah lebih banyak hanya memberikan instruksi, tapi kadang, aku rindu masa-masa bisa melakukan tindakan. Aku suka aktif bekerja daripada diam saja. Kalau kata dokter jaga di RS Mardi Waluyo, "Morin ini kayak nggak ada capeknya ya..jaga melulu..." tapi bonusnya, aku boleh hecting...seru kan..


Kalau kata perawat-perawat IGD, "Morin ini kayak setrikaan loh, mondar-mandir melulu. Duduk sini sih.." tapi aku nggak mau duduk kalau masih ada perawat yang bikin tindakan. Aku nggak mau ketinggalan satu tindakanpun.


Mama Lakeswara yang cantik dan baik hati...

Pengalaman koass pertama adalah bagaimana kita dibentuk untuk stase-stase berikutnya. Aku bangga jadi alumni koass RS Imanuel. Aku belajar melakukan seluruh tindakan dengan steril, belajar untuk bisa bekerja cepat, tepat dan bertanggung jawab. AKu ditempa, walaupun menyakitkan, tapi akhirnya aku kuat, akhirnya aku percaya diri. Di RS-RS berikutnya, aku tinggal melatih lagi. Mengasah keterampilanku untuk makin baik. Oh ya, kalau soal hecting, dr Dono, Sp. B yang paling berjasa. Sampaikan salamku untuk dr Dono, ya kak Tirta sayang.. Katakan padanya, aku sekarang sudah terampil hecting. Luka separah apapun, jahitanku tetap rapi. Ia yang dulu memegangi tanganku ketika pertama kali aku hecting karena aku grogi. Ia yang dulu menyuruhku latihan di bantal dan betul-betul aku lakukan. Sekarang aku bisa jahit cepat. Sampaikan padanya segala terima kasihku yang terdalam, karena selalu membelaku, karena selalu ada di pihakku, karena selalu mau jadi teman curhatku juga. Aku kangen loh jaga di polinya. Ia baik. Dulu, aku dijuluki "koass kesayangan dr Dono.." tapi dengan nada sinis dari teman-temanku. Karena dr Dono cuma mau aku yang asistensi beliau kalau beliau yang operasi. Ia selalu mau aku yang melakukan tindakan di IGD. 


Kak Tirta tersayang.....

Orang bilang, koass itu cuma ingat sama perawat pas butuhnya saja. Aku tidak. Aku masih selalu mengingat perawat-perawat yang berjasa padaku. Yang mau mengajari dengan sabar. Aku selalu menghormati mereka sekalipun sekarang aku sudah lulus. Bagiku tak ada beda. Aku masih adik kecil mereka yang manja tapi begitu berhadapan dengan pasien, seriusnya nggak bisa diusik. 


Kemarin, saat aku jaga, ada lima orang yang masuk ke ruanganku dan mengatakan, "Dokternya masih muda banget, cantik lagi..." dan aku cuma tersipu malu. Coba kalau mereka tahu kayak apa kucelnya dokternya dulu ya? Hehehe...


terima kasih selalu menjadi kakak perempuanku yang paling baik...Semua anak perempuan rasanya memang butuh sosok perempuan lain yang dianggapnya kakak. Kebetulan aku menemukannya dalam dirimu. Aku berterima kasih..


Sehat ya mommy Lakes dan bayi kecilnya... Aku nggak sabar peluk kalian bertiga...


Bekasi, 6 Februari 2014

*keliatan gak metamorfosis itik buruk rupa jadi angsa nya??. Hehehe*




Rabu, 05 Februari 2014

Event 30HariMenulisSuratCinta: Day 5 "Untuk Neptunus, Perihal Percakapan Tengah Malam""

Itu nama samaranmu, di buku harianku. Kau tahu, kan, seringkali kita (ehmm..maksudnya aku) menulis buku harian dan supaya tak banyak yang tahu untuk siapa tulisan itu ditujukan, aku menulis nama-nama orang di dalamnya dengan nama samaran. Aku tak ingat betul kenapa aku memilih nama Neptunus untuk menyamarkan namamu.


Aku pernah memberi nama "Dewa" kepada seseorang yang pernah sangat aku kasihi, aku pernah menamakan "Matahari", "Awan", "Rama" dan "Bintang". Aku suka nama-nama itu. Aku menyukai nama-nama sansekerta. Aku berharap bisa menamai anak perempuanku nanti dengan Dinaya, atau kalau laki-laki akan kuberi nama Bimasena, atau Ayodia atau Mahesa. Ya, pokoknya yang terdengar agak Sansekerta. Kembali ke topik awal. Aku memberimu nama "Neptunus" mungkin terpengaruh dengan novel Perahu Kertas yang beberapa waktu lalu aku baca. 


Neptunus-ku.....

Aku tahu tidak mudah untuk kita melewati begitu banyak hari dengan jarak yang membentang. Ini sulit. Bagiku dan juga bagimu. Tapi harus aku katakan sejujurnya, aku adalah seorang yang pembosan. Tapi denganmu, aku tak pernah bosan bercerita, bermanja-manja. Aku suka menunggumu pulang kerja, mendengar barang satu dua cerita tentang keseharianmu. Aku kelak mungkin nantinya akan sangat menyukai percakapan menjelang tidur kita, ya, suatu waktu nanti, kala kita sudah bisa bersama. Aku akan menceritakan keseharianku dan kau dengan keseharianmu. Aku suka momen-momen bercerita denganmu menjelang tidur. Atau, mungkinkah hal itu yang membuatku tak bosan denganmu? Karena memang kesibukan kita hanya menyisakan sepenggal malam untuk kita saling mengisi?


Neptunusku............

Momen bercerita denganmu di ujung malam selalu membuatku jadi lebih baik. Aku sendiri tidak tahu kenapa. Aku setingkat lebih bahagia di akhir percakapan kita dan siap terlelap dengan lebih nyenyak. Aku suka dengar kau tertawa, aku suka dengar kegilaanmu atau sekedar gombalan tengah malam. Aku suka. Bukankah penggalan cerita tiap malam itu yang akhirnya mendekatkan kita? Aku tak pernah ingin kehilangan itu semua, Neptunusku. Aku selalu bersedia menunggumu pulang tiap malam, jam berapapun itu hanya untuk mendengar satu menit saja ceritamu, atau sekedar mendengar kau mengucapkan "met bobo adek.." cuma itu. Simpel kan?


Neptunusku, maukah selalu menyediakan satu menit menjelang tidurmu untuk sekedar meneleponku yang tak pernah tidak menunggumu?