Sabtu, 22 Maret 2014

Di Hatimu, Kulabuhkan Cintaku

"Sayang, aku masih lembur di kantor, kamu tidur duluan ya. Maaf malam ini belum bisa ngobrol denganmu lagi."

 

Renata menutup pembicaraan ditelepon dengan perasaan campur aduk. Ini bukan hari kedua atau ketiga Seno, laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama dua tahun terakhir ini hampir-hampir tidak punya waktu untuknya. Heran, kepala cabang sebuah bank tapi koq sibuknya mengalahkan dia yang berprofesi sebagai dokter. Memangnya di bank ada nasabah cito? Yang bikin Seno hampir tiap malam harus lembur. Pulang selalu diatas jam sebelas malam? Padahal, bank mana yang buka sampai malam? Jam tiga sore, semua bank sudah tutup.


Renata belum juga bisa memejamkan matanya walaupun badannya terasa sangat lelah. Sudah tiga malam ini pasiennya tumpah ruah. Mungkin karena musim baru saja beralih. Dari musim kemarau ke musim penghujan, jadi banyak yang terserang common cold, bahkan yang demam berdarah pun tak sedikit jumlahnya. Hujan, genangan air, kebersihan yang kurang, benar-benar menjadi sarang bagi Aedes Aigepty berkembang biak dan jadilah gara-gara nyamuk itu, rumah sakit di Jakarta kebanjiran pasien Dengue Haemoragic Fever, atau yang lebih sering dikenal Demam Berdarah Dengue (DBD). Padahal, di Puskesmas-puskesmas sudah dikerahkan para juru pemantau jentik alias jumantik untuk memantau penampungan-penampungan air warga supaya tidak ada jentik nyamuk, sudah diadakan program Jumat bersih, tapi tetap saja, angka kejadian DBD masih tinggi. Setiap kali musim penghujan datang, maka bertamu juga nyamuk-nyamuk nakal itu.


Tiga hari ini sudah delapan pasien yang datang padanya dengan positif DBD. Trombositnya menurun sampai dibawah seratus ribu, padahal trombosit normal seharusnya diatas seratus lima puluh ribu. Hemoglobin dan hematokrit yang menjadi tolok ukur kekentalan darah juga sudah jauh meningkat, menandakan pasien sudah kekurangan cairan dan butuh penggantian cairan segera agar sel-sel tubuhnya tidak dehidrasi. 


Raganya letih, otaknya juga sudah malas berpikir, tapi sikap Seno akhir-akhir ini juga membuat hatinya sama letihnya dengan otak. Laki-laki itu sudah dua minggu terakhir jarang telepon. Alasannya selalu sama: sibuk! Rapat ini, rapat itu, mengurus nasabah dan segudang aktivitas lainnya, seolah dunianya hanya tinggal kantor dan kantor. Tidak ada yang lain. Tidak ada Renata juga. Atau...jangan-jangan Seno punya perempuan lain yang tengah didekatinya? Ah...Renata langsung menggigit bibirnya sendiri begitu membayangkan hal tersebut. 


Tidak pantas mencurigainya, Rena! batinnya sendiri. Kalau Seno bilang dia sibuk, berarti dia pasti sibuk. Toh, sesibuk-sibuknya dia, Seno tak pernah lupa mengucapkan selamat pagi, tak pernah lupa mengiriminya gambar-gambar bunga atau gambar-gambar romantis lainnya hanya untuk mengucapkan "Good night my sweet heart.."

***


Perkenalan mereka dimulai sejak dua tahun lalu, di bandar udara Fatmawati Soekarno, ketika maskapai penerbangan yang akan membawa mereka dari Bengkulu ke Jakarta terlambat nyaris tiga jam. Rasa-rasanya, di Indonesia saat ini, tak ada satu pun alat transportasi yang bisa on time. Tapi ternyata Seno tak pernah menyesali keterlambatan maskapai itu. Tiga jam bukan waktu yang lama, bila di sebelahnya duduk seorang perempuan cantik yang tengah sendirian pula. Dan yang membuatnya setingkat lebih bahagia adalah: dia sudah pernah bertemu perempuan ini sebelumnya. Dan sejak pertama kali mereka bertemu, Seno sudah meliriknya.


Diberanikannya menayapa Renata lebih dulu, "Ke Jakarta juga ya?"


Renata yang sedang mengutak-ngatik gadget-nya menoleh ke arah suara yang mengajaknya bicara, tersenyum kecil lalu mengangguk. Setelah itu ia pura-pura asik lagi dengan gadgetnya sendiri. Klise. Laki-laki di sebelahnya ini pasti mau mengajak kenalan. Sudah terbaca dari gerak-geriknya. Lagu lama. Batinnya. 


"Asli Jakarta?"


Terpaksa sekali lagi Renata mengangkat wajahnya, menatap laki-laki yang mengajaknya bicara dan mengangguk. Tapi ketika kedua kalinya mata mereka bertautan, Renata seperti terbius pesonanya. Sebenarnya, laki-laki di sampingnya ini tidak jelek, boleh dibilang malah tampan. Matanya tajam, alisnya tebal dan dagunya...ah...mengingatkannya pada Gerard Butler, pemain film P.S. I Love You yang tampan itu. Cara berpakaiannya pun rapi. Kemeja biru tua yang lengannya digulung sampai ke siku, membuatnya semakin terlihat maskulin. 


Astaga, Renata! Dia membatin. Kenapa jadi menilai laki-laki ini. Masa bodo amat dia tampan atau nggak, masa bodo dia mirip Gerard Butler atau tidak. Laki-laki, makin tampan pastilah makin playboy! Lihat saja Gema, mantan pacarnya setahun silam, wajahnya tak ganteng-ganteng amat, pekerjaannya pun hanya dosen, tapi dia bisa punya pacar dua, dan sialnya, Renata lah salah satunya. Gema, laki-laki dua puluh tujuh tahun itu, ternyata punya pacar lain selain dirinya. Untung dia segera tahu, kalau tidak, ditaroh mana mukanya? Dokter muda, cantik dan pintar masa bisa-bisanya diselingkuhi.


"Ada keperluan apa ke Bengkulu?" tanyanya lagi.


"Kawan saya menikah dengan orang Bengkulu." jawab Renata.


Seno mengangguk-angguk. Dia merasa bicara Renata sudah tak setawar tadi. Dia mulai menanggapi walaupun masih sedikit acuh tak acuh. "Kawanmu, dokter Azalea Wardhani?"


Kali ini Renata menoleh, lebih cepat dari sebelumnya. Hampir saja lehernya terkilir, saking terburu-burunya menoleh. Lah koq dia tahu soal Azalea?


Seno tersenyum melihat raut kaget di wajah Renata, "Suaminya, Gilang Deniansyah itu kawan sekantorku."


Renata masih belum terpuaskan dengan jawaban Seno barusan. Loh, tamu undangannya kan banyak. Lima ratus orang! Jadi bagaimana mungkin laki-laki ini hafal wajahnya? Dia kan bukan artis."Tapi koq kamu tahu saya hadir di sana?"


"Kalau aku tak salah ingat, aku melihatmu di pesta itu, gaun warna hitam, datang sendiri, menyanyi juga kan, lagu Tonight, I Celebrate My Love for You? Suara yang bolehlah diperdengarkan di depan juri Indonesian Idol." Kalau Anang sampai mengejekmu, aku patahkan lehernya. Tapi kalimat terakhir itu tentu saja hanya diucapkannya dalam hati.


Renata tersipu malu. Jadi laki-laki ini ada juga di pesta pernikahan Az, sahabatnya sejak semester satu di fakultas kedokteran. Dunia memang sempit ya. Di pesta pernikahan Azalea kemarin, tamunya ada lima ratus orang. Rata-rata masih muda, seumuran dengan Renata. Kalau yang sudah tua, paling-paling kerabat dari orang tua kedua mempelai. Dan di pesta pernikahan itu, semua laki-laki wajahnya mirip. Semua datang dengan celana hitam dengan kemeja, walaupun ada yang batik juga. Tapi, pakaian yang mirip-mirip begitu, membuat Renata tak sempat memberikan perhatian lebih pada seorang tamu pun. Hanya kebetulan memang ia menyanyi di pesta itu. Tapi hanya sebuah lagu. Lagipula, biasanya tamu undangan tak terlalu memperhatingan siapa orang yang bernyanyi di atas panggung. Tamu undangan lebih sibuk dengan menu makanan yang disajikan. Peduli amat sama penyanyinya! Tapi ternyata laki-laki di sebelah ini golongan lain. Dia masih sempat melirik penyanyi di panggung bahkan hafal wajahnya.


Tiga jam yang akhirnya terasa begitu singkat untuk mereka berdua ternyata sempat menambahkan kontak di smartphone masing-masing, bertukar alamat e-mail dan janji bertemu lagi di Bandara Soekarno-Hatta nanti. 


"Nomor kursi?" tanya Seno.


"11a."


"Sayang, kita jauh. Aku di  20a. Kita ketemu di Jakarta ya?"


Renata mengangguk.

***


Renata tak pernah menyangka, tiga jam keterlambatan pesawat malah melahirkan kisah cinta diantara mereka. Kedatangan Seno ke Jakarta ternyata karena ada penugasan dari kantor tempatnya bekerja sebagai kepala cabang sebuah bank ternama di Bengkulu. Ia menetap satu minggu di Jakarta. Dan selama ia di Jakarta, di tengah agenda urusan kantornya, ia selalu menyelipkan agenda baru. Bertemu Renata. 


Tidak ada satu malampun yang dilewatkannya untuk bertemu dengan Renata. Sekedar mengajaknya minum kopi di sebuah caffe, mengajaknya makan malam bersama, atau kalau Renata kebetulan bertugas jaga malam, ia akan membawakan Renata makan malam dan menemaninya sejenak. 


Seno sendiri tak pernah menyangka, ia bisa berkesempatan bertemu Renata kembali setelah pesta pernikahan sahabatnya itu. Seusai melihatnya menyanyi di atas panggung, Seno berniat ingin menghampirinya, tapi Renata sudah keburu menghilang dan entah pergi kemana. Sampai Seno menunggu menjelang pesta usai, ia tak lagi melihat sosok penyanyi itu. Hilang begitu saja. Siapa sangka dia bisa bertemu lagi di bandara. Terima kasih maskapai penerbangan yang hobi telat. Rupanya keterlambatannya kali ini malah menjadi anugrah bagi Seno.

 

Renata memikat hatinya sejak malam pesta pernikahan itu. Ia mengenakan gaun minimalis tapi gaun seminimalis itu, dikenakan oleh Renata yang berpostur model, malah membuat ia makin nampak bersinar. Wajahnya tidak begitu cantik, tapi malah terlihat anggun. Sorot matanya teduh, seolah ia seperti menemukan rumah yang nyaman di matanya. Suaranya lembut namun penuh perasaan. Malam itu, di atas panggung, Renata nampak sempurna. 

 

Dua hari kemudian, ketika mereka bertemu lagi di bandara, Seno makin menganguminya. Selain anggun, lembut dan bersuara bagus, ternyata selera humornya boleh juga. Ia sering tersenyum, tertawa, membalas candanya tanpa harus jaga image. Ia begitu nampak natural, apa adanya dan Seno tak ingin kehilangan jejak Renata untuk kedua kalinya.

 

Malam-malam di Jakarta yang biasanya hanya penuh dengan agenda kantor, kini menjadi lebih sumringah, karena hadirnya Renata. Ia lebih bersemangat menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin, supaya bisa segera menjemput Renata, mengajaknya makan, atau sekedar menghabiskan waktu berdua sembari duduk-duduk makan martabak di teras rumah Renata. 

 

"Aku pikir, perempuan dengan badan sebagus kamu, nggak mau ketemu sama martabak.." ujar Seno ketika malam itu ia datang dengan dua kotak martabak, seperti yang dipesan Renata di bbm-nya tadi siang. Pesanan itu malah sudah disertai ancaman, "Kalau kamu nggak bawa dua kotak martabak, aku nggak mau buka pintu. Biar aja kamu ngobrol sama di Brownie di teras!" Seno hampir tak bisa manahan tawanya membaca bbm itu saat rapat tengah berlangsung. Hampir saja ia jadi pusat perhatian.

 

"Memangnya apa salah martabak sampai aku nggak mau ketemu?"

 

"Nggak takut gemuk?"

 

Renata menggeleng, "Aku cuma makan martabak kalau dibeliin aja koq, nggak pernah beli sendiri. Kebetulan aja kamu datang, aku jadi punya orang yang bisa dipalakin martabak."

 

"Pacarmu?"

 

"Setahun yang lalu?" Renata balas bertanya, "Dia selalu marah-marah kalau aku minta martabak. Katanya nanti aku gemuk, badanku nggak bagus lagi.."

 

"Karena itu kamu putusin?"

 

"Dia selingkuh, sama cewek yang nggak suka martabak.." Renata mengucapkan kalimat itu dengan ringan, setelah itu memasukan potongan martabak keempat ke dalam mulutnya. 

 

Seno cuma bisa geleng-geleng kepala. Dimana ditemuinya perempuan seperti ini? Makan martabak sampai empat potong, tapi belum juga puas. Mungkin kalau dibiarkan, dua kotak martabak spesial itu bisa habis untuk dirinya sendiri. 

 

Tapi mungkin karena hal itu Seno makin menggaguminya. Apa yang kurang dalam diri Renata? Dia cantik, pintar, dokter, perempuan yang menyenangkan juga. Cuma laki-laki bodoh yang menyia-nyiakannya.

 

Dan beberapa malam sepulang menemui Renata, Seno mulai terjangkit penyakit sulit tidur. Bayang-bayang Renata terus saja menghantuinya. Wangi tubuhnya, senyumnya, tatapan matanya, bahkan caranya melahap martabak mampu membuat Seno tersenyum di atas tempat tidurnya. Tanpa pemeriksaan seorang dokter pun, Seno tahu, dia terjangkit penyakit jatuh cinta!

***

 

 

 

Dan saat Seno harus kembali ke Bengkulu, di gate keberangkatan, dia menatap mata Renata dalam-dalam, "Aku cinta padamu, Renata.."


Renata terdiam. tubuhnya serasa membeku sekejap. Tak menyangka Seno akan mengucapkannya sekarang. Di saat ia akan kembali ke kotanya, saat mereka harus berpisah. 


"Rena.." Seno membuayarkan lamunan sesaatnya, "Aku cinta padamu.."


"Lalu harus kujawab apa?"


"Kalau kau jawab 'ya', aku akan pulang ke Bengkulu dengan hati amat bahagia dan sampai di sana nanti, aku akan langsung meneleponmu.."


"Kalau aku jawab 'tidak'?"

 

"Aku akan terjun saat pesawat diatas ketinggian lima ribu kaki dan ketika pesawatku tiba di bengkulu, kamu akan dapat telepon dari polisi yang mengabarkan kalau laki-laki yang kamu tolak cintanya mati bunuh diri.."


"Nah, kalau begitu siap-siaplah untuk terjun. Ada pesan terakhir?"


Seno tertawa mendengar jawaban Renata. Tanpa perlu Renata jelaskan, dia sudah tahu Renata menerima cintanya. 


"AKu cinta padamu, Renata. Bulan depan, aku akan datang menemuimu lagi. Kamu mau menunggu kan?"


"Asal kamu bawa kue Tat.." ujarnya menyebut salah satu makanan khas Bengkulu.


"Akan aku bawa sampai pabrik-pabriknya, khusus buat dokterku yang paling cantik.."


"Jangan." Renata memotong, "Resepnya saja, supaya kamu nggak harus sewa pesawat pribadi."


SEno tersenyum. Kali ini dia sudah berani menarik hidung Renata, "Sampai ketemu lagi, Sayang.."


"Kalau mau terjun, check in nya jangan lupa minta duduk di dekat jendela darurat ya." ujar renata, menghapus kesedihan yang tiba-tiba membayang. 

***


Sudah dua tahun kisah cinta Jakarta-Bengkulu yang tak selalu mulus ini tetap dijalani. Kadang Renata sibuk, kadang Seno yang sibuk, tapi mereka masih sama-sama meluangkan waktu untuk berbincang di malam hari, menelepon walau hanya sebentar, melakukan hal-hal kecil yang bisa membuat pasangan tersenyum sekalipun jarak membentang. 

***


Gerald terlalu berbahaya. Setidaknya itulah pendapat Renata. Pesonanya tak mungkin ditolak wanita manapun, termasuk Renata. Apalagi akhir-akhir ini Seno jarang sekali meneleponnya. Jarang mengajaknya bicara. SUdah dua bulan bahkan Seno tidak datang ke Jakarta. Lalu, datangnya sosok Gerald. Dokter gigi yang berpraktek di rumah sakit yang sama tempat renata bekerja. Berawal dari makan siang bersama lalu bertemu tidak sengaja di halaman parkir, sampai minggu kedua, Gerald sudah berani menunggu di depan ruang praktiknya.


Gerald tak peduli Renata sudah punya kekasih. Loh, selama janur kuning belum melengkung, Renata masih bisa diperebutkan, bukan? Apalagi pacarnya jauh. Datang ke Jakarta hanya sebulan sekali? Bah! Renata pasti memilih yang lebih dekat. Sama-sama dokter pula. Walaupun dia dokter gigi dan Renata dokter umum. 


***


Menyesal sekali malam minggu itu Renata menerima tawaran Gerald untuk pergi ke Pekan Raya Jakarta, melepas penat katanya. Ternyata, ajakan itu terus berulang dan Renata semakin kesulitan menolaknya. Tak bisa dipungkiri, kehadiran Gerald seperti mebangkitkan kembali nalurinya sebagai perempuan. 


"Apa enaknya pacaran jarak jauh, Renata? Kalau kamu kayak sekarang ini, gila belanja, siapa yang bawakan belanjaanmu seperti sekarang?" tanya Gerald setengah curhat. Sejak sore hari ia menemani Renata berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan, dan menemani perempuan belanja memang pekerjaan yang teramat sangat melelahkan. Tawar sana, tawar sini, lalu tidak jadi beli. Jalan-jalan lagi, lalu menyesal tidak beli barang yang tadi, lalu balik lagi ke toko itu. DAMN! Harus beli gaun tanpa cela, sepatu yang ukurannya harus sangat pas, warna tas yang harus benar-benar sesuai keinginannya. Tak boleh asal ungu. 


"Katamu mau beli tas warna ungu? Di toko tadi kan banyak yang warna ungu.." keluh Gerald. Main futsal tiga jam tak lebih letih dari mutar-mutar ITC ini.


"Ungunya bukan yang seperti itu, Ger. Tadi ketuaan. Yang soft aku maunya."


Dan empat jam Gerald menemani Renata berkeliling mencari tas warna ungu sesuai keinginannya. Tapi herannya, dia tak merasa jengkel sama sekali. Kadang, ketika Renata sedang asyik memilih belanjaannya, dia memandanginya diam-diam. Renata memang nampak berbeda. Wajahnya tak terlalu cantik, tapi matanya begitu lembut, ia tahu sekali bagaimana memoleskan make up di wajahnya supaya kecantikannya bisa dinikmati orang-orang yang melihatnya. Renata tau sekali memilih pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya, seolah sengaja mengunci tatapan setiap laki-laki yang menoleh padanya. Dan satu hal yang paling dikagumi Gerald: senyumnya. Kalau Renata tersenyum, ia tak pernah hanya pura-pura tersenyum. Ia selalu tersenyum tulus dan kalau sedang tersenyum, bukan hanya bibirnya yang tersenyum, tapi hidungnya juga, matanya juga, pipinya juga. Pantas pasiennya paling ramai. Kalau ada pasien sakit, baru lihat senyum dokter cantiknya saja pasti sudah setengah sembuh. Obat hanya memainkan peran tiga puluh persennya. 


"Kamu pernah menyuruh pacarmu menemanimu belanja?"


Renata menggeleng, "Tidak pernah.."


"Lalu kenapa aku kamu suruh menemanimu belanja?"


"Karena kamu bukan pacarku.." jawabnya santai, sekali lagi sambil tersenyum. 


Gerald seperti tersentak mendengar kalimat barusan. Ya, aku bukan pacarnya. Jadi ngapain aku selama sebulan ini? Menunggunya tiap pulang praktik, pergi makan malam sama-sama, walaupun Renata tak pernah memilih restaurant yang suasananya lebih romantis. Dia selalu memilih KFC, hoka-hoka bento, bakmi Gajah Mada atau kadang malah minta makan di restaurant Padang. Dia tak pernah mau diajak dinner di restaurant yang lebih elegan. Tidak mau diajak nonton XXI. 


"Ger, koq melamun? Jam segini kuntilanak lagi jam-jamnya hangout loh.."


Gerland tersenyum, "Nggak apa-apa, siapa tahu ada yang kasian sama aku, mau jadi pacarku, daripada kayak sekarang, capek nemenin pacar orang belanja.."


Renata sempat tertegun sejenak sebelum akhirnya tertawa, dan untuk pertama kalinya Gerald mendengar kepura-puraan di dalam tawa itu.

***


"Nggak datang ke Jakarta lagi?" hampir menangis Renata mendengar kabar dari Seno malam ini. 


"Rena, ayolah, aku benar-benar sedang tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Kamu mau kan coba buat ngerti, sayang?"


"Sehari aja di Jakarta nggak bisa?"


"Nggak bisa sayang, Aku mau ke Batam empat hari minggu depan, kerjaan kantor juga nggak bisa ditinggal. Kayaknya sebulan ini aku nggak ada libur."


"Walaupun hari Minggu?"


"Sabtu aku pulang tengah malam, sayang, kalau ke Jakarta Minggu pagi, malamnya balik, kayaknya aku nggak sanggup, sayang.."


"Kalau aku yang ke Bengkulu, 'gimana?"

 

"Aku juga nggak bisa nemenin kamu kalau kamu di sini, nanti yang ada kamu malah bosan karena aku tinggal kerja.."


"Kamu nggak kangen aku, Sen?"


"Kangen dong...masa tiga bulan nggak ketemu dokterku yang paling cantik, aku nggak kangen sih..aku kangen kamu sayang, tapi pekerjaan nggak bisa ditinggal."


"Pekerjaan lebih penting dari aku?"


"Jangan bilang gitu dong, honey..Ini kan juga buat masa depan kita. Kalau sudah menikah nanti, gak akan aku mau disuruh sering-sering tugas ke luar kota. Aku harus mendahulukan kamu dong.."


"Jadi sekarang aku masih nomor dua?"


"Kamu selalu nomor satu, my sweet heart. AKu hanya ingin mempersiapkan masa depan kita sebaik-baiknya. Yang ingin aku nikahi kan seorang dokter. Aku mau memberikanmu hidup yang layak, yang sesuai dengan apa yang kamu mau.."


"Aku nggak pernah minta istana.."


"Nah, itu!" Seno menyela, "Kamu memang nggak pernah minta istana, yang kamu minta sepuluh pabrik kue Tat kan?"


Renata tak bisa lagi menahan tawanya. Ia tertawa, sekalipun hatinya masih agak sedih. 

***



Renata tahu, Gerald sengaja mendekatinya, sengaja mengambil kesempatan di saat Seno justru sedikit mengabaikannya. Makanya itu Renata tahu sejak awal, Gerald berbahaya. Pesonanya terlalu memukau. Juga bagi Renata, yang tak bisa setiap hari bertemu dengan Seno. 


Gerald tahu betul bagaimana memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya. Menunggu Renata selesai praktik, mengiriminya cokelat di tengah-tengah jam praktiknya, mengajaknya makan berdua, pergi ke pameran bunga, seperti kegemaran Renata. Dia tahu sekali bagaimana memikat hati Renata. Dan Renata memang terpikat. Dia sadar dia seperti telah menumbuhkan harapan di hati Gerald. Tapi, salahkah dia? Bukannya harusnya ini salah Seno? Siapa suruh dia tak mau mengorbankan satu hari liburnya untuk datang ke Jakarta? Siapa suruh dia lebih mementingkan pekerjaan daripada pacarnya. Tiga bulan! Sementara di sini, ada Gerald yang tak pernah berkata "tidak", apapaun keinginan Renata. Makan Bakso Bang Eric di Matraman padahal mereka baru saja keliling Mangga Dua. Pergi ke Bakmi Gajah Mada, padahal itu jam delapan malam dan malam minggu. Jalanan tentu macet semacet-macetnya. Bahkan ketika siang-siang Gerald menanyakan "Mau makan siang apa, Ren?" dan asal saja Renata menjawab, "Koq lagi pingin roti bakar ya, Ger? Tapi siang-siang begini, dimana yang jual roti bakar?" tapi satu jam kemudian, roti bakar keju kacang cokelat kegemaran Renata sudah tersaji di hadapannya. 


"Kamu dapat darimana?"


"Apapun, demi dokter Renata yang cantik, aku pasti usahakan..."


"Kalau aku minta kalung berlian, gimana?"


"Kalau kamu memberikan aku hak untuk menghadiahkan sebuah kalung berlian untukmu, malam ini juga aku rela merampok bank.."


Renata tertawa lepas. Ah, dia sudah tak ingat, kapan terakhir Seno mengajaknya bercanda. Padahal di tengah rutinitasnya sebagai seorang dokter, dia butuh kawan untuk bisa diajak tertawa. Capek kalau hari-hari diisi serius melulu. Tapi belakangan ini, Seno tak punya waktu.

Tak sadar Renata menghela napasnya terlalu kuat di depan Gerald, dan Gerald mengerti, kebimbangan macam apa yang sedang mengusik hati Renata.

***


Renata menggeleng, "Aku punya pacar, Gerald." diucapkannya kata-kata itu setengah mendesis, "Kamu sendiri tahu kan, aku punya pacar!"

"Pacar yang sudah tiga bulan datang menengokmu saja tidak pernah?"

Renata terdiam.

"AKu laki-laki, Renata. Aku tahu apa yang ada di pikiran pacarmu di Bengkulu sana. Dia sedang bersama perempuan lain."

"Kamu tidak berhak menghakiminya. Dia bukan kamu!"

"Bukan aku? Ya jelas, dia bukan aku. AKu nyata di depanmu, sementara kamu nggak tahu di sana sedang apa. Jangan-jangan dia sudah asyik dengan perempuan lain."

"Seno tidak akan berbuat sekejam itu padaku." ujarnya dengan nada marah. "Jangan rusak persahabatan kita hanya karena kamu menjelek-jelekan pacarku!"

"Renata, kau bahagia denganku?"

Renata tak menjawab.

"Aku tak keberatan memberikanmu waktu untuk berpikir.."

"Gerald, terima kasih untuk seluruh waktumu. AKu tahu kamu datang di saat aku jenuh dengan hubungan jarak jauhku, tapi aku tak akan menghianati Seno."

"Juga kalau dia sudah menghianatimu lebih dulu?"

"AKu tak berhak menuduhnya tanpa bukti.."

"Kalau begitu, kau sudah lebih dulu berbuat curang.."

"AKu?"

"Kau jalan denganku, menghabiskan banyak waktu denganku, dan Seno tak pernah tahu!"

Renata terhenyak mendengar pedasnya kata-kata Gerald barusan. dan melihat betapa terlukanya tatapan perempuan di hadapannya, Gerald benar-benar menyesal telah mengucapkan kata-kata itu.


"Ren, sorry.." ia berusaha memperbaiki keadaan, tapi Renata tak lagi mampu menahan dua bulir air matanya yang terjun bebas.


"Ren, dengar, aku tak peduli kau dengan Seno atau denganku, aku peduli soal kebahagiaanmu. Itu saja. Baiklah kalau aku salah, aku minta maaf. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, bukan malah dipermainkan laki-laki itu."


"Dia tak pernah mempermainkanku, Gerald!" 


"Beberapa malam ini aku tersiksa memikirkanmu, Renata. Aku mencintaimu.."


"Kalaupun terbit di hatiku secercah cinta untukmu, Gerald, aku tak akan pernah memberikan harapan itu bertunas saat aku masih memegang komitmen dengan laki-laki lain."


"Kau masih mencintainya, Renata?"


Renata terdiam.


"Kamu masih mencintainya, Renata?" sekali lagi Gerald mengulang pertanyaan itu.


"Kalau kau memang menginginkan kebahagianku, dengan siapapun laki-laki yang aku pilih, tolong tinggalkan aku.."


 "Ren..mintalah yang lain, asal jangan yang satu itu..."


"Tapi tidak ada hal lain yang lebih aku inginkan selain berpisah denganmu..."


Gerald tertunduk lesu.

***


"Apa kabar honey?" Sapa Seno saat teleponnya akhirnya dijawab juga.

"Di Batam jam berapa sekarang, Sen?"

"Kalau aku kangennya sekarang, masa harus tunda sampai pagi?"

"Kamu egois." jawab Renata. 

Seno terdiam. Dan diamnya Seno membuat Renata jadi tidak nyaman. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat. Seharusnya tak perlu bicara seperti itu pada Seno. Setidaknya tidak di jam satu tengah malam. Dia sedang malas bertengkar.

"Aku dengar nada marah, Renata?"

"Aku ngantuk. Aku, capek, Seno. Jam di hape mu tidak rusak kan?"

"Maaf ya mengganggumu malam-malam. Aku kangen, sayang..."

Kamu pikir aku nggak kangen! tapi kata-kata itu hanya dimuntahkan dalam hati saja. dia benar-benar sedang tidak ingin bertengkar, badannya sudah capek, tidak ingin ditambah dengan beban pikiran lagi hanya karena mereka sama-sama letih dan...sama-sama rindu!

"I miss you too.." balas Renata.


Tapi Seno tahu betul Renata masih menyimpan jengkel. Dia tak mengucapkan kata rindu itu dengan nada ringan dan penuh hasrat. dia hanya basa-basi semata.

"Honey, trust me, okay? I will see you soon. Maaf ya, aku ngecewain kamu ya?"

Renata tak mampu membuka mulutnya, sebab kalau dia memaksa membuka mulut, tangisnya pasti pecah. 

Kamu nggak tahu aku kangen banget! Kamu nggak tahu kalau aku tengah bimbang, haruskah aku masih mempercayaimu? Benarkah mempertahankanmu, sementara di sini ada seseorang yang lebih memberikan perhatian, rasa nyaman dan menunjukkan seluruh cintanya? Tidak akan menyesalkah aku kelak?


"Renata, I promise, kita ketemu begitu seluruh pekerjaanku beres ya? Kamu baik-baik aja kan di sana? Sehat?"

"Sen, aku ngantuk.."

"Sebentar, sayang. Aku cuma ingin kamu tahu, aku sangat-sangat merindukanmu. Percaya padaku ya, honey? Aku berusaha untuk tidak mengecewakanmu.."

"Selamat malam, Seno.."

"I love you, Renata.."

Renata mematikan sambungan teleponnya.

Sekarang dia tak bisa tidur lagi. Sebetulnya ingin marah, tapi tidak tahu harus marah kepada siapa? Pada dirinya sendiri? Pada Seno atau pada Gerald? Ah...Gerald... Sudah seminggu sejak pertemuan terakhir mereka di restaurant itu, Gerald tak pernah lagi menunggunya, tak pernah memberikan kejutan-kejutan kecil untuknya. Gerald seperti pergi, walaupun hampir setiap hari mereka masih bertemu.

Seperti tadi pagi, ketika mereka berpapasan di lobi rumah sakit. Gerald tersenyum, Renata balas tersenyum. Sudah. Itu saja. Tak ada canda Gerald, ajakannya untuk sarapan pagi bersama, tidak ada kopi Starbuck yang biasanya dibawakan Gerald. Dia seperti sungguh-sungguh memenuhi apa yang diinginkan Renata. 

Kamu inginkan perpisahan, bukan, Renata? Nah, aku hadirkan perpisahan itu untukmu, sekalipun hatiku terasa tersayat. Melihatmu melintas di lobi, melihat mendung di matamu yang dulu ceria. Katamu kamu akan bahagia kalau kita berpisah, tapi kenapa aku tak pernah melihat kabut itu berlalu dari matamu, Renata? Ketika menatap mata gadis itu pagi tadi, Gerald tahu Renata masih bimbang. Haruskah dia kembali? Mencoba mendekati Renata sekali lagi? Kali ini mungkin lebih sabar menunggu, dia tak keberatan menunggu Renata memutuskan pacarnya yang sialan itu. Kalau dia lebih sabar, mungkinkah Renata berpaling?

***


Renata menghela napasnya. Akhirnya. Pasien terakhir. Sudah pegal bahu dan pinggangnya, sejak jam dua tadi siang, dia bertugas jaga di poliklinik umum. Pasiennya tumpah ruah seperti orang mengantri sembako gratis.

Belum sempat pasien terakhir itu masuk, Blackberry-nya berbunyi. Diambilnya telepon genggamnya itu dan terbaca di layarnya, Seno. 

Diputuskannya untuk menerima telepon itu sembari menunggu pasiennya yang terakhir.

 

"Lagi apa, bidadariku?" sapanya begitu Renata mengucapkan hallo.

"Tumben kamu ngegombal jam segini.." balasnya, tapi wajahnya tetap saja tersipu malu. Dasar perempuan. Tak suka katanya digombali, tapi diam-diam rindu juga mendengar sanjungan manis.  

 

"Lagi apa, sayang?"

"Masih praktik."

"Nggak ada pasien ya?"

"Ini masih ada satu pasien, tapi belum masuk ruangan."

"Baguslah. Mudah-mudahan dia nggak masuk dulu sampai aku selesai ngomong sama kamu."

"Mau ngomong apa?"

"Pingin melamar kamu.."

"Sinting kamu, Sen!"

Didengarnya Seno terkekeh di sambungan telepon, "Kalau itu, aku yakin kamu sudah tahu dari awal. Kamu tahu aku sinting, tapi kamu terima juga jadi pacarmu, kan?"

"Terpaksa.." ujar Renata.

 "Mau menikah denganku, dokter Maria Renata Ayodya?"

"Nggak begini caranya melamar perempuan, Seno."

"Lalu bagaimana?"

"Bawa bunga, bawa cincin, temui aku.."

"AKu sibuk."

"Itu urusanmu." sembari mengfucapkan kata-kata itu, Renata meraih status pasiennya. dibaca namanya "Pria Yang Selalu Menyayangimu Setulus Hati Selamanya" lalu dia tak bisa menahan tawanya. 

"kenapa kamu jadi ketawa?"

"Sorry..sorry Sen, aku nggak sengaja baca nama pasienku yang terakhir ini.."

"Kenapa namanya?"

"Mau dengar namanya?"

"Apa?"

"Pria yang Selalu Menyayangimu Setulus Hati Selamanya.."

Hening. Seno tidak tertawa.

"Koq kamu nggak ketawa sih, Sen? Nggak lucu apa nama itu?"

"Mungkin benar dia sayang kamu.."

Renata tertawa kembali, "Ini orang, kalau nggak dari Planet Mars, pasti pasien kabur dari RSJ Grogol."

"Jahatnya kamu, Ren..."

"Dia ke sini pasti mau suntik rabies." tambah Renata. 

"Hei, lalu lamaranku bagaimana, diterima nggak?"

"Nggak." sahut Renata segera.

"Kenapa?"

"Ah, kamu ini. Sudah, nanti telepon lagi kalau aku sudah di rumah ya, Sen? aku selesaikan dulu pasien sakit jiwaku yang satu ini, lalu aku mau pulang."

Renata menelepon perawatnyadi depan, "Pasien terakhirnya mana, sus? koq nggak masuk?"

"Dia takut masuk katanya, Dok."

"Dia datang sendiri?"

"Iya, datang sendiri, Dok. Dia bilang dokter saja yang keluar."

"Berani amat dia suruh saya yang keluar? Ya sudah, bilang saja, saya mau pulang. Kalau satu menit lagi dia nggak mau masuk, suruh dia berobat dengan dokter lain."

"Dok, katanya dia takut kalau masuk, nanti disuntik rabies sama dokter. Dia bilang dia bukan dari planet Mars, bukan pasien RSJ Grogol juga."

Renata menganga. gagang telepon diletakkannya buru-buru. tidak pada tempatnya. tapi siapa peduli.

buru-buru dia membuka pintu kamar praktiknya. 

Didapatinya Seno dengan sebuket mawar putih ditangannya. Dia nampak menahan tawa. 

"Seno..." Renata kehabisan perbendaharaan kata. Entah harus marah, senang atau bete. 

"Buat dokter renata tersayang.." Seno menyerahkan sebuket mawar putih itu.

"Ngapain kamu di sini?" desisnya.

"Kamu yang minta aku datang melamarmu langsung, bawa bunga dan bawa cincin.."

Renata mencubit lengan Seno gemas. 

"Bereskan barangmu, kita dinner ya?"

Renata mengangguk. 

Dia membawa sebuket mawarnya, masuk kamar jaga dan sekali lagi dia tertegun melihat sebuah kotak kecil berawarna merah di atas tempat tidurnya. 

ada sebuah kertas terlipat juga di sisinya.

Dibukanya kotak itu. Sebuah cincin emas. Hampir menetes air matanya mendapati kejutan bertubi-tubi. lalu diraihnya kertas di sampingnya.

"Will you marry me, dr. Maria Renata Ayodya?"

 

setelah tertegun sejenak, ditelponnya perawatnya dari kamar jaga dan diserahkannya sebuah kertas resep yang terlipat, "Tolong kasihkan sama laki-laki yang tadi ya.."

Seno membuka kertas itu dan tersenyum membaca kalimatnya.

 

"Yes. I will,  Seno Pratama, SE."

***

Sabtu, 15 Maret 2014

Karena Ada Jarak yang Melengkapi KIta

Ini malam minggu. Ini Kota Bengkulu. Ini Pantai Panjang.

Ingin rasanya aku pergi ke Pantai Panjang, duduk-duduk pinggiran pantai sembari menikmati buah kelapa muda dengan es batu yang membuat tenggorokan terasa segar. Tapi....tidak ada kamu yang melengkapi senja di pesisir ini...

Bukankah menyenangkan kalau aku bisa selalu menikmati akhir pekan bersama seseorang yang kepadanya aku curahkan segala gundah, resah dan harapan? Bukankah setelah enam hari rutinitas yang menjemukan, akan sangat menyenangkan bila selalu punya satu senja bersama?


Kita berjalan menyusuri tepian pantai, membiarkan kaki kita disapu ombak-ombak yang menghampiri. Kita biarkan ombak menggelitik telapak kaki kita. Kita terus berjalan menyusuri Pantai Panjang sembari tangan kita tetap bergandengan, sesekali kau merangkulku dan sesekali kita berkejaran sebab aku dengan sengaja meraup air laut dan membuat air itu terciprat di bajumu, di wajahmu dan kau geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang kadang tak kau bayangkan sebelumnya. Kau sering bilang, "Adek, adek ini dokter loh tapi kadang-kadang mas nggak percaya adek ini dokter. Manja betul.." Lalu aku cemberut, merengut dan alih-alih merayuku dengan seribu rayuan gombal yang pasti meluluhlantahkan hati setiap perempuan, kau malah sengaja mencubit pipiku kuat-kuat. Dasar! 



Setelah lelah menyusur pantai, berkejar-kejaran, mencoret-coret di atas pasir, bertengkar soal tulisan di pasir, harus Morina loves Christ atau Christ loves Morina, setelah puas berbalas mencipratkan air di pantai, kita duduk di pinggirannya, memesan dua buah kelapa muda dan menikmatinya sambil diam. Tapi diam itu toh tak akan bertahan lama. Aku akan dengan sengaja mengganggumu yang sedang minum. Aku letakkan sedotanku di buah kelapamu lalu sengaja memencet sedotanmu supaya kau tak bisa menghirup air kelapa yang manis itu. Kau lalu pasang muka bete lalu menarik hidungku. Selanjutnya aku malah lebih sibuk mengerok buah kelapamu ketimbang mengurus buah kelapaku sendiri. Tapi sesekali kusendokkan juga untukmu. Kita mungkin sama-sama mencintai segarnya buah kelapa dan mencintai kebersamaan ini. 



Ketika matahari sudah semakin merendah, kita akan duduk lebih repat, tanganmu di bahuku dan kita menikmati sunset yang perlahan datang. Aku biarkan pipiku dibelai angin pantai, kusandarkan kepalaku di bahumu dan kupejamkan mata. Semua hal siang sampai senja ini membuatku lelah juga. Aku mungkin tak sadar tertidur dalam rangkulanmu. Tak tahu untuk berapa lama, sampai kau menarik hidungku, "Bangun, adikku sayang..." Lalu aku terjaga dan lagi-lagi memasang wajah cemberut, "Nggak bisa bangunin pake kata-kata romantis? Kenapa harus narik-narik hidung sih?" Lalu kau tertawa dan sekali lagi menarik hidungku, kali ini lebih kencang, "Biar hidungnya mancung ke luar.." aku tepis tanganmu dan aku cubit perutmu sampai kau meronta-ronta minta ampun. Nah. Rasakan pembalasanku. Aku lalu tertawa senang.

***

Seandainya.....sepenggal angan-angan di atas bisa jadi nyata setiap akhir pekan...

Seandainya, aku berdiri di hadapan Pantai Panjang ini tidak sendiri...

Seandainya, lelah dan segara resah ini tak hanya selalu tersalurkan lewat sambungan telepon...

Betapa mudahnya menuliskan angan-angan seperti itu. Soal menghabiskan waktu bersama orang yang kita kasihi. Sayangnya, angan-angan itu masih butuh kesabaran. Angan-anagn itu masih dalam proses untuk pada akhirnya bisa diwujudkan bersama di waktu yang tepat. 

Banyak yang mengatakan, betapa menyedihkannya menjalin hubungan yang terpisah jarak begitu jauh. Aku katakan pada mereka, "Ya." Menyedihkan kalau kau menganggapnya demikian. Menyedihkan. Membuat merana. Siapa yang tidak merasa merana kalau ingin bertemu saja harus ada rencana jauh-jauh hari, harus benar-benar penuh persiapan, harus benar-benar dipikirkan jadwal berdua. Siapa yang tidak merasa sedih kalau melihat orang lain bisa menghabiskan waktu berdua sering-sering, sementara aku di sini hanya bisa menikmati kesendirian. Pacaran tapi sendirian. 

Yang banyak orang lihat, kami adalah pasangan serasi, yang selalu penuh senyum di dalam foto, yang selalu penuh canda. Tak terbayangkan pastinya berapa ratus kali kesalahpahaman, berapa ratus kali sepi dan resah membuat hal-hal sepele bisa melahirkan batu sandungan untuk kami. Tak kan pernah orang lain rasakan, bagaimana kami mencoba untuk tetap saling bergandengan dalam doa dan dalam rindu sekalipun tangan tak saling menggapai.


Rindu adalah bulir-bulir air mata yang kadang luruh juga di penghunjung malam. Ada bagian yang terasa kosong setiap kali usai bercengkrama. Ada gelitik di sanubari, betapa inginnya sebenarnya bercengkrama sembari menatap mata, sembari saling menggenggam. Tapi di depan mata hanya tembok-tembok yang tak mengerti rasa. Atau ketika pertengkaran tak terhindarkan, tidakkah menambah kepedihan saat aku tak bisa menangis dalam dekapmu? Saat kau menghibur tapi tak ada tanganmu yang membelai kepalaku dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja? 

Tak banyak orang yang tahu, kita berjalan, kita melangkah atau bahkan kita berlari tak semulus yang dibayangkan. Tapi di hatiku terpatri komitmen untuk selalu mengasihi dan menghormati, sehingga apapun yang terjadi diantara aku dan kau, biarlah hanya aku dan kau serta Tuhan yang campur tangan, sisanya, tak baik dilihat orang lain. Bukankah kau yang selalu mengajarkan bahwa kita tak boleh mengumbar masalah kepada orang lain. Kita harus bisa kokoh berdiri berdua. Orang lain hanya akan menertawakan masalah kita. 

Jarak adalah musuh bagi sebagian orang, tapi kita tahu, jarak telah melengkapi kita. Jarak mengakarkan kita betapa berartinya sebuah pertemuan, mengajari kita bagaimana menetralisir rindu, menjadikan kita lebih dewasa, mempersiapkan kita untuk lebih kokoh. Bila aku dan kau sejauh ini masih melangkah bersama diantara jarak yang selalu dikatakan orang "jauh" bukankah itu anugrah yang harus disyukuri? Yang harus kita pelihara? 

Tanpamu, aku masih berdiri tegar di sini, masih mengatasi setiap masalahku, masih bertahan untuk sampai di garis akhir. Tapi aku toh menyukai kata-kata "selamat pagi adekku sayang.." yang satu tahun dua bulan ini tak pernah satu kalipun absen, dan aku tak pernah jemu setiap kali membaca pesan sebelum tidurmu, "Met bobo adek sayang..". Aku belum pernah bosan menunggumu pulang kerja, menghabiskan sepuluh menit setiap malam untuk sekedar bertukar cerita singkat. Karena memang hanya sepenggal malam itu yang kita punya, bukan?

Aku dan rutinitasku lalu kau dengan rutinitasmu, adalah cerita tersendiri yang pada akhirnya melahirkan kisah-kisah untuk berbagi. Kau pernah bilang, "Tidak mungkin seseorang putus dengan kekasihnya dengan alasan sibuk masing-masing. Mereka putus pasti karena salah satu dari mereka tak punya kesibukan. Carilah kesibukanmu, nikmati hari-harimu selama mamas belum di sampingmu, nanti tak terasa sudah waktunya Mamas ke Bekasi lagi atau adek ke Metro lagi.." dan aku percaya itu. Kesibukanku, kesibukanmu, bukan alasan kita tak saling menjaga. Justru ritme kerja yang menguras waktu dan tenaga ini adalah hal yang menjaga kebersamaan kita. Hal yang menjauhkan kita dari segala rasa curiga, cemburu atau prasangka yang bukan-bukan. 

Aku di sini, begitu rentan, begitu rapuh terkadang. Kau tahu, godaan terlalu banyak. Kalau sedang bertugas di rumah sakit, dari sekian puluh pasien, sepuluh diantaranya bisa menjodohkanku dengan anaknya, keponakannya, sepupunya atau siapa saja. Yang disodorkan buatku tentu bukan sembarang laki-laki, melihat titelku yang seorang dokter. Tapi selalu kusuguhkan senyum penuh rasa terima kasih. Aku belum ingin menukarmu dengan siapa-siapa. Kalau orang bilang, biarlah kenalan saja, siapa tahu lebih baik dari yang sudah dipunya, lalu aku akan menjawab, "Kalau sudah diberi dan sejauh ini sudah baik, kenapa harus merasa ingin mencari yang lebih lagi? Ya, kalau dapat yang lebih baik, kalau nanti malah hanya akan kecewa? Dan, sekali kita berbuat curang, kita akan jatuh dalam kecurangan selanjutnya. Biarlah aku jaga komitmen yang sudah aku buat."

Dan kau di sana, akupun tahu, laki-laki semapan dirimu, dengan usia yang sudah matang, status yang baik, kau tinggal mengerlipkan mata, aku yakin perempuan takkan menolakmu. Tapi sampai detik ini kau menunjukkan kepadaku kualitasmu. Menunjukkan kepadaku kedewasaanmu dan bagaimana kau berkomitmen. Ketika kita setia dalam perkara kecil, maka semoga Tuhan mempercayakan kita berdua dalam perkara yang lebih besar. 


Menjaga sebuah hubungan yang terpisah jarak begitu jauh tidaklah mudah, tapi bukankah kita selalu dikuatkan, bahwa kasih itu sabar.... Ya. Kasih itu sungguh sabar. Aku yang bersabar dan kau yang bersabar. Kita tahu, bila Tuhan sudah menuliskan kehendak-Nya, kesabaran kita tentu buahnya manis. Tapi biarlah selalu kita letakkan kesabaran di atas segalanya. Di setiap rindu, di setiap pertengkaran, di setiap perselisihan, semoga kita selalu ingat, bahwa kasih itu sabar. Kasih itu murah hati

Perjalanan ini manis rasanya sebab ada jarak yang melengkapi kita. Bukan lagi jarak yang memisahkan kita. Bukan lagi jarak yang membuat kita merana, tapi jarak yang mengajarkan kita kedewasaan, jarak yang menumbuhkan sabar, pengertian dan mengajarkan ketulusan. Bukankah pada akhirnya hal itu juga yang masih menghadirkan hadiah-hadiah kecil dariku untukmu dan keripik pisang darimu? Sebab kemanapun aku melangkah selalu ada potongan hatimu. Dan aku tahu, dimanapun kau berada, tak pernah tak kau bawa kepercayaanku. Kita mungkin bisa saja lupa waktu, terlalu sibuk, tapi kepercayaan, kesabaran dan komitmen akan selalu membawa kita kembali, pada saatnya kelak...



Bengkulu Kota, 16 Maret 2014