Sabtu, 15 Maret 2014

Karena Ada Jarak yang Melengkapi KIta

Ini malam minggu. Ini Kota Bengkulu. Ini Pantai Panjang.

Ingin rasanya aku pergi ke Pantai Panjang, duduk-duduk pinggiran pantai sembari menikmati buah kelapa muda dengan es batu yang membuat tenggorokan terasa segar. Tapi....tidak ada kamu yang melengkapi senja di pesisir ini...

Bukankah menyenangkan kalau aku bisa selalu menikmati akhir pekan bersama seseorang yang kepadanya aku curahkan segala gundah, resah dan harapan? Bukankah setelah enam hari rutinitas yang menjemukan, akan sangat menyenangkan bila selalu punya satu senja bersama?


Kita berjalan menyusuri tepian pantai, membiarkan kaki kita disapu ombak-ombak yang menghampiri. Kita biarkan ombak menggelitik telapak kaki kita. Kita terus berjalan menyusuri Pantai Panjang sembari tangan kita tetap bergandengan, sesekali kau merangkulku dan sesekali kita berkejaran sebab aku dengan sengaja meraup air laut dan membuat air itu terciprat di bajumu, di wajahmu dan kau geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang kadang tak kau bayangkan sebelumnya. Kau sering bilang, "Adek, adek ini dokter loh tapi kadang-kadang mas nggak percaya adek ini dokter. Manja betul.." Lalu aku cemberut, merengut dan alih-alih merayuku dengan seribu rayuan gombal yang pasti meluluhlantahkan hati setiap perempuan, kau malah sengaja mencubit pipiku kuat-kuat. Dasar! 



Setelah lelah menyusur pantai, berkejar-kejaran, mencoret-coret di atas pasir, bertengkar soal tulisan di pasir, harus Morina loves Christ atau Christ loves Morina, setelah puas berbalas mencipratkan air di pantai, kita duduk di pinggirannya, memesan dua buah kelapa muda dan menikmatinya sambil diam. Tapi diam itu toh tak akan bertahan lama. Aku akan dengan sengaja mengganggumu yang sedang minum. Aku letakkan sedotanku di buah kelapamu lalu sengaja memencet sedotanmu supaya kau tak bisa menghirup air kelapa yang manis itu. Kau lalu pasang muka bete lalu menarik hidungku. Selanjutnya aku malah lebih sibuk mengerok buah kelapamu ketimbang mengurus buah kelapaku sendiri. Tapi sesekali kusendokkan juga untukmu. Kita mungkin sama-sama mencintai segarnya buah kelapa dan mencintai kebersamaan ini. 



Ketika matahari sudah semakin merendah, kita akan duduk lebih repat, tanganmu di bahuku dan kita menikmati sunset yang perlahan datang. Aku biarkan pipiku dibelai angin pantai, kusandarkan kepalaku di bahumu dan kupejamkan mata. Semua hal siang sampai senja ini membuatku lelah juga. Aku mungkin tak sadar tertidur dalam rangkulanmu. Tak tahu untuk berapa lama, sampai kau menarik hidungku, "Bangun, adikku sayang..." Lalu aku terjaga dan lagi-lagi memasang wajah cemberut, "Nggak bisa bangunin pake kata-kata romantis? Kenapa harus narik-narik hidung sih?" Lalu kau tertawa dan sekali lagi menarik hidungku, kali ini lebih kencang, "Biar hidungnya mancung ke luar.." aku tepis tanganmu dan aku cubit perutmu sampai kau meronta-ronta minta ampun. Nah. Rasakan pembalasanku. Aku lalu tertawa senang.

***

Seandainya.....sepenggal angan-angan di atas bisa jadi nyata setiap akhir pekan...

Seandainya, aku berdiri di hadapan Pantai Panjang ini tidak sendiri...

Seandainya, lelah dan segara resah ini tak hanya selalu tersalurkan lewat sambungan telepon...

Betapa mudahnya menuliskan angan-angan seperti itu. Soal menghabiskan waktu bersama orang yang kita kasihi. Sayangnya, angan-angan itu masih butuh kesabaran. Angan-anagn itu masih dalam proses untuk pada akhirnya bisa diwujudkan bersama di waktu yang tepat. 

Banyak yang mengatakan, betapa menyedihkannya menjalin hubungan yang terpisah jarak begitu jauh. Aku katakan pada mereka, "Ya." Menyedihkan kalau kau menganggapnya demikian. Menyedihkan. Membuat merana. Siapa yang tidak merasa merana kalau ingin bertemu saja harus ada rencana jauh-jauh hari, harus benar-benar penuh persiapan, harus benar-benar dipikirkan jadwal berdua. Siapa yang tidak merasa sedih kalau melihat orang lain bisa menghabiskan waktu berdua sering-sering, sementara aku di sini hanya bisa menikmati kesendirian. Pacaran tapi sendirian. 

Yang banyak orang lihat, kami adalah pasangan serasi, yang selalu penuh senyum di dalam foto, yang selalu penuh canda. Tak terbayangkan pastinya berapa ratus kali kesalahpahaman, berapa ratus kali sepi dan resah membuat hal-hal sepele bisa melahirkan batu sandungan untuk kami. Tak kan pernah orang lain rasakan, bagaimana kami mencoba untuk tetap saling bergandengan dalam doa dan dalam rindu sekalipun tangan tak saling menggapai.


Rindu adalah bulir-bulir air mata yang kadang luruh juga di penghunjung malam. Ada bagian yang terasa kosong setiap kali usai bercengkrama. Ada gelitik di sanubari, betapa inginnya sebenarnya bercengkrama sembari menatap mata, sembari saling menggenggam. Tapi di depan mata hanya tembok-tembok yang tak mengerti rasa. Atau ketika pertengkaran tak terhindarkan, tidakkah menambah kepedihan saat aku tak bisa menangis dalam dekapmu? Saat kau menghibur tapi tak ada tanganmu yang membelai kepalaku dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja? 

Tak banyak orang yang tahu, kita berjalan, kita melangkah atau bahkan kita berlari tak semulus yang dibayangkan. Tapi di hatiku terpatri komitmen untuk selalu mengasihi dan menghormati, sehingga apapun yang terjadi diantara aku dan kau, biarlah hanya aku dan kau serta Tuhan yang campur tangan, sisanya, tak baik dilihat orang lain. Bukankah kau yang selalu mengajarkan bahwa kita tak boleh mengumbar masalah kepada orang lain. Kita harus bisa kokoh berdiri berdua. Orang lain hanya akan menertawakan masalah kita. 

Jarak adalah musuh bagi sebagian orang, tapi kita tahu, jarak telah melengkapi kita. Jarak mengakarkan kita betapa berartinya sebuah pertemuan, mengajari kita bagaimana menetralisir rindu, menjadikan kita lebih dewasa, mempersiapkan kita untuk lebih kokoh. Bila aku dan kau sejauh ini masih melangkah bersama diantara jarak yang selalu dikatakan orang "jauh" bukankah itu anugrah yang harus disyukuri? Yang harus kita pelihara? 

Tanpamu, aku masih berdiri tegar di sini, masih mengatasi setiap masalahku, masih bertahan untuk sampai di garis akhir. Tapi aku toh menyukai kata-kata "selamat pagi adekku sayang.." yang satu tahun dua bulan ini tak pernah satu kalipun absen, dan aku tak pernah jemu setiap kali membaca pesan sebelum tidurmu, "Met bobo adek sayang..". Aku belum pernah bosan menunggumu pulang kerja, menghabiskan sepuluh menit setiap malam untuk sekedar bertukar cerita singkat. Karena memang hanya sepenggal malam itu yang kita punya, bukan?

Aku dan rutinitasku lalu kau dengan rutinitasmu, adalah cerita tersendiri yang pada akhirnya melahirkan kisah-kisah untuk berbagi. Kau pernah bilang, "Tidak mungkin seseorang putus dengan kekasihnya dengan alasan sibuk masing-masing. Mereka putus pasti karena salah satu dari mereka tak punya kesibukan. Carilah kesibukanmu, nikmati hari-harimu selama mamas belum di sampingmu, nanti tak terasa sudah waktunya Mamas ke Bekasi lagi atau adek ke Metro lagi.." dan aku percaya itu. Kesibukanku, kesibukanmu, bukan alasan kita tak saling menjaga. Justru ritme kerja yang menguras waktu dan tenaga ini adalah hal yang menjaga kebersamaan kita. Hal yang menjauhkan kita dari segala rasa curiga, cemburu atau prasangka yang bukan-bukan. 

Aku di sini, begitu rentan, begitu rapuh terkadang. Kau tahu, godaan terlalu banyak. Kalau sedang bertugas di rumah sakit, dari sekian puluh pasien, sepuluh diantaranya bisa menjodohkanku dengan anaknya, keponakannya, sepupunya atau siapa saja. Yang disodorkan buatku tentu bukan sembarang laki-laki, melihat titelku yang seorang dokter. Tapi selalu kusuguhkan senyum penuh rasa terima kasih. Aku belum ingin menukarmu dengan siapa-siapa. Kalau orang bilang, biarlah kenalan saja, siapa tahu lebih baik dari yang sudah dipunya, lalu aku akan menjawab, "Kalau sudah diberi dan sejauh ini sudah baik, kenapa harus merasa ingin mencari yang lebih lagi? Ya, kalau dapat yang lebih baik, kalau nanti malah hanya akan kecewa? Dan, sekali kita berbuat curang, kita akan jatuh dalam kecurangan selanjutnya. Biarlah aku jaga komitmen yang sudah aku buat."

Dan kau di sana, akupun tahu, laki-laki semapan dirimu, dengan usia yang sudah matang, status yang baik, kau tinggal mengerlipkan mata, aku yakin perempuan takkan menolakmu. Tapi sampai detik ini kau menunjukkan kepadaku kualitasmu. Menunjukkan kepadaku kedewasaanmu dan bagaimana kau berkomitmen. Ketika kita setia dalam perkara kecil, maka semoga Tuhan mempercayakan kita berdua dalam perkara yang lebih besar. 


Menjaga sebuah hubungan yang terpisah jarak begitu jauh tidaklah mudah, tapi bukankah kita selalu dikuatkan, bahwa kasih itu sabar.... Ya. Kasih itu sungguh sabar. Aku yang bersabar dan kau yang bersabar. Kita tahu, bila Tuhan sudah menuliskan kehendak-Nya, kesabaran kita tentu buahnya manis. Tapi biarlah selalu kita letakkan kesabaran di atas segalanya. Di setiap rindu, di setiap pertengkaran, di setiap perselisihan, semoga kita selalu ingat, bahwa kasih itu sabar. Kasih itu murah hati

Perjalanan ini manis rasanya sebab ada jarak yang melengkapi kita. Bukan lagi jarak yang memisahkan kita. Bukan lagi jarak yang membuat kita merana, tapi jarak yang mengajarkan kita kedewasaan, jarak yang menumbuhkan sabar, pengertian dan mengajarkan ketulusan. Bukankah pada akhirnya hal itu juga yang masih menghadirkan hadiah-hadiah kecil dariku untukmu dan keripik pisang darimu? Sebab kemanapun aku melangkah selalu ada potongan hatimu. Dan aku tahu, dimanapun kau berada, tak pernah tak kau bawa kepercayaanku. Kita mungkin bisa saja lupa waktu, terlalu sibuk, tapi kepercayaan, kesabaran dan komitmen akan selalu membawa kita kembali, pada saatnya kelak...



Bengkulu Kota, 16 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar