Senin, 14 Oktober 2013

14-10-2013

14-10-2013

 

tadi pagi kami baru ngobrol santai. aku tertawa-tawa dan aku bahagia dengar suaranya. Tuhan, rasanya aku indu sekali padanya. tak sabar ingin segera bertemu. Ingin bisa memeluknya lagi, bersandar di dadanya hingga aku tertidur. 

 

Akan tetapi, akhir-akhir ini jutaan tanya selalu mampir di hatiku. Kenapa belakangan ini aku begitu cemburu padanya dengan teman-temannya? Aku tak begitu suka kalau ia (hampir) setiap malam kumpul dengan teman-temannya hingga larut malam. Bukankah aku ini pantas didengar? Kalau aku katakan aku tak suka, bukankah seharusnya ia mempertimbangkannya? Jadi mengapa hal sepele ini selalu berulang?

 

Kemarin, ia baru saja bilang padaku, kalau ia hanya kumpul-kumpul malam di malam minggu saja. Nah, bayangkan perasaanku, kalau perempuan lain, pasti sudah ngamuk-ngamuk dan mengancam putus. Masa malam minggu malah nggak disapa. Tapi aku mau belajar jadi lebih dewasa. Malam Minggu, malam Senin, malam Selasa, atau malam-malam lainnya, harusnya sama saja. Kalau memang ia berkesempatan dengan teman-temannya di malam Minggu, bolehlah aku memberikan keleluasaan baginya di malam itu. Toh malam-malam lainnya ia masih ada waktu denganku. Tapi akhir-akhir ini koq tidak ya?

 

Yesusku yang manis,

bukalah hatiku, tunjukkan rencana-Mu. Benarkah ia yang akan mendampingiku sepanjang hidupku nanti? Benarkah ia laki-laki yang Engkau sediakan untuk menjadi pelengkap di hidupku? Ada jutaan ragu yang mendera, Tuhan. Aku belum juga menemukan jawabnya. Hanya benar-benar bisa berdoa dan berserah.

 

Kalau ditanya soal cinta, aku cinta padanya. Saat siang itu ia rebah di pangkuanku, dan tanganku mengusap kepalanya dengan lembut, aku tahu aku mencintainya. Aku tahu aku tak ingin meninggalkannya. Tapi, aku toh tak boleh lalu menutup mata hanya karena aku mengasihinya. Ia harus mau berubah, harus mau mendengarkan aku, bila ia masih menginginkan aku ada di sisinya. 

 

Bukankah wajar kalau aku memintanya untuk mendengarkan aku? Aku sendiri pun belajar untuk selalu mendengarkannya. Ia bilang aku harus diet, maka aku jalani diet ini. Ia bilang aku harus pergi suntik, maka aku pergi. Tapi bukankah seharusnya kami dua arah? kenapa setiap aku yang memintanya untuk tidak pergi, ia selalu menyalahkan aku? Baiklah...tidak menyalahkan, tapi jarang ia benar-benar ingin mendengarkan aku.

 

Aku mulai khawatir dengannya. Aku merasa khawatir ini beralasan. Kenapa dia jadi hobi main tiap malam? Bukankah dulu dia bilang ia lebih senang di rumah? Bukankah dulu waktunya selalu banyak untukku? Sekarang, ditelepon saja ia sering lebih banyak mengantuknya daripada ngobrol denganku. 

 

Terlalu berlebihankah permintaanku padanya? Mengapa ia tak mau mendengar? Mengapa "jauh" selalu menjadi alasan? Bukankah aku pun sebenarnya bisa tak mengindahkan kalau dia memintaku melakukan sesuatu? Tapi aku memilih untuk mendengarkannya. Aku memilih patuh. Aku mau mendengarkannya. Nah, tidak bolehkah aku meminta hal yang sama? Atau ia sudah tak lagi butuh pandanganku, nasihatku, tak lagi butuh perhatianku? Mungkin teman-temannya lebih baik. Lebih bisa membuatnya tertawa. Oh ya, itu juga, aku sudah jarang dengar ia tertawa seperti dulu. Jarang mendengar ia menyanyi untukku lagi. 

 

Aku tak meminta romantisme bulan-bulan lalu itu harus selalu hadir, tapi bukankah seharusnya ia bisa fair? kalau aku senantiasa mau menunggunya hingga pulang kerja, mengapa ia menambah bebanku dengan menunggunya sampai ia selesai bermain? Kalau aku mau ngobrol, rasanya sepihak betul. Rasanya aku yang begitu ketergantungan dengannya dan ia tidak rindu bercerita denganku. Kalau ia rindu, bukankah seharusnya ia pun berusaha menghubungiku? Berusaha meneleponku atau menyediakan waktunya untukku dan tidak membuatku menunggu di tengah-tengah letihku sementara ia asyik bermain di sana.

 

Aku rindu ia yang menjelang tidur menceritakan keluh kesahnya, menceritakan isi hatinya dan mengharapkan suaraku lah yang terakhir kali didengarnya sebelum ia terlelap. Tapi rasanya, sekarang ia sudah tak butuh itu lagi.

 

Aku tak akan mengobrol kangenku banyak-banyak. Ia juga tak akan terlalu menggubris. Sekalipun aku rindu, biarlah aku simpan baik-baik perasaanku. 

 

Aku ingin jadi tempatnya bercerita tentang apa saja, tapi rasanya sekarang ia lebih nyaman bersama teman-temannya. Tiap kali ia bilang bahwa aku boleh meminta hakku untuk mengobrol dengannya, aku merasa seperti, hanya aku saja kah yang rindu? Tidakkah ia ingin tahu kabarku?

 

Sayang, taukah engkau, aku berkali-kali terlibat dalam masalah yang membuat kepalaku hampir pecah, tapi aku tak bisa bercerita padamu. Kau tak punya waktu. Kau tak pernah lagi ingat kapan aku harus suntik, kau tak lagi pernah tanya soal sakitku, kau tak pernah tanya bagaimana internshipku, bagaimana kelanjutan studiku. Tidakkah kau ingin tahu sayang? AKu berusaha melarikan diri dalam jutaan kesibukan. Aku kerja 9 hari tanpa pulang ke rumah, aku memaksa diriku untuk sibuk agar aku tak terlalu merasa begitu ditinggalkan. 

 

aku sayang padamu. Soal itu kau tak perlu meragukannya. Aku tak perlu menjelaskan sebesar apa sayangku untukmu. Tapi ada hal yang harus engkau pertimbangkan, bahwa akupun ingin bisa selalu berbagi denganmu tanpa engkau selalu mempermasalahkan jarak. Buatlah aku sesekali menjadi prioritasmu. Dengarkanlah aku sesekali.

 

Aku harus mengakuinya, kalau kau terlalu jauh melangkah sendiri, mungkin aku tak lagi sanggup menyamakan langkah..