Jumat, 31 Januari 2014

Ada Malaikat Berjubah Cokelat

Dear Dewa

Malam ini saya sedang kesakitan, tapi berbeda dengan apa yang saya keluhkan beberapa tahun silam, waktu saya masih punya kamu. Waktu saya masih bisa menghubungimu kapan saja dan di mana saja. Waktu saya masih gadis kecil kesayanganmu.

 

Saya, kangen kamu....

 

Malam itu, saya bukan hanya sakit secara fisik, tapi juga lelah secara hati. Kau pasti lebih mengerti. Kau sudah paham. Saat itu saya selalu memanggilmu "Malaikat Berjubah Cokelat" sebab kamu seorang frater OFM. Pakaianmu sama dengan pakaian St. Fransiscus dari Asisi. 

 

Malam itu saya meneleponmu, menangis karena seluruh perasaan campur aduk jadi satu. Saya bilang saya lelah mengemis kanan kiri mau minta tolong supaya saya bisa sembuh, supaya saya bisa lepas dari ketergantungan opioid. Saya cuma menangis tersedu-sedu karena putus asa, dan kamu selalu jadi pendengar yang baik, kamu bilang, "Sweetheart, jangan putus harapan. Masih ada Allah yang baik dan kamu masih punya saya. Besok saya datang ya? Kita ketemu ya?" Saya mengiyakan. 

 

Malam itu tidur saya lebih baik. Diiringi sebuah SMS darimu, "Tidurlah yang nyenyak, sweetheart, jangan patah semangat. Masih ada aku, yang mendoakanmu. Besok kita cari jalan keluarnya sama-sama.."

 

Esok harinya, kamu benar datang. Tanpa menghakimi atau tanpa memintaku bercerita di awal, kamu mengajakku nonton di twenty one, lalu kita makan di sebuah restaurant, terakhir kita nongkrong di Dunkin Donut sampai larut malam. 

 

Saya suka jalan-jalan denganmu, walaupun rasanya aneh. Orang pasti mengira kita pacaran, padahal tidak. Kau, malaikat berjubah cokelat, yang selalu ada kapanpun saya membutuhkanmu.

 

Saya kuliah di Fakultas Kedokteran dan kamu kuliah Teologi. Kamu tak paham betul saya sakit apa, tapi ada satu folder di notebook mu yang menyimpan arsip-arsip tentang sakitku. Kamu dan saya sama-sama menjelajah dunia internet dan mencoba mendalami permasalahanku. Saya tertegun sejenak menatap layar notebook mu dan dalam hati saya berujar, "Terima kasih kiriman Malaikat Berjubah Cokelat-nya, Tuhan..." 

 

Di meja cafe itu juga saya meneteskan air mata, saya biarkan seluruh kelelahan tumpah di hadapanmu. Saya menangis tersedu-sedu dan cuma bisa bilang, "Saya harus cari bantuan sama siapa lagi? Saya mau konsul ke dokter jantung yang lain, tapi saya tidak punya uang.."

Kau mengatakannya dengan penuh kasih, "Kamu mau konsul ke mana? Saya temani ya? Saya biayai semuanya. Kamu jangan takut soal biaya, saya ada. Saya yang akan menanggung semua biayanya.."

 

Akhirnya saya memang bisa bertemu dengan dokter lain, semangatmu lah yang saya tanamkan di hati, sebab saat itu semua orang terlalu pengecut untuk membantu saya. Saya seperti seorang pengemis yang minta belas kasihan. Saya takkan melupakan kejadian itu, Dewa. Saya tak pernah bisa melupakannya. Saya masih sering sedih mengingatnya. Saya cuma bisa bilang, kalau saya masih berdiri tegar sampai di detik ini, tak lain karena di momen-momen paling menyedihkan itu, selalu ada kamu, yang tak pernah melepaskan tangan saya barang sejenak. Kamu jaga saya baik-baik, kamu rangkul saya untuk tetap berjalan dan kamu tak pernah menghakimi saya. Kamu selalu mendengarkan saya dan selalu bilang, "Jangan pernah merasa sendiri. Saya ada, kapanpun kamu membutuhkan saya..."

 

Saya ingin sekali meneleponmu lagi, mengirimimu sms atau seperti natal-natal kemarin, kita saling berkirim hadiah dan kartu ucapan. Saya kangen kamu. 

 

Saya berdoa kamu bahagia dengan pilihanmu saat ini, Dewa... jalan yang kau pilih, keputusan yang kau buat,saya tahu kau sudah memikirkannya matang-matang. Saya selalu dan masih selalu berdoa untukmu. Saya pernah bilang padamu, "Kalau saya menikah nanti, harus kau yang memimpin ekaristinya.." dan kamu mengiyakan. Ternyata, jalan ke depan jauh berbeda. Kamu memilih untuk melepas jubah cokelatmu dan kembali menjadi awam. Saya berdoa untukmu, Dewa. Senantiasa berdoa. Kalau kelak akhirnya kamu temukan seorang perempuan untuk mendampingi hidupmu, ia pasti perempuan yang sangat berbahagia, mendapatkan laki-laki sebaik dan setegar kamu. 

 

Saya masih ingat awal perkenalan kita, Dewa. Saya, yang masih begitu senang memberontak dan kamu yang penuh dengan kasih seperti malaikat. Saya hampir nekad pulang dari reat-ret dan kau yang membuatku lebih nyaman. Katamu, "Kalau kamu ingin pulang, pulanglah besok. Saya yang akan mengantarmu. Tapi kalau kau mau bertahan, bertahanlah hingga lusa dan saya janji takkan memaksamu mengikuti kegiatan apapun di sini. Kamu boleh menyendiri, boleh menikmati seluruh waktumu sendiri."

 

Saya sedang di Jakarta, Dewa...dan betapa inginnya saya bertemu denganmu. Banyak sekali hal yang ingin saya ceritakan. Saya ingin jalan-jalan lagi denganmu, ngobrol sampai malam di cafe yang sama dan saya ingin menagih janjimu, "Kalau kamu sudah jadi dokter nanti, mau nggak seminggu sekali kamu ke panti? Kami butuh dokter..." saya mau... Ya. Saya mau. Kamu harus membawa saya ke sana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar