Kamis, 01 Agustus 2013

Saya, Kriteria Jones dan Perjalanan Panjang

Agustus 2006 yang lalu untuk pertama kalinya saya merasakan keluhan soal jantung. Yang saya keluhkan adalah sesak dan jantung saya selalu terasa berdebar-debar. Untuk pertama kalinya saya harus pergi ke dokter spesialis jantung karena sudah dua kali menemui dokter umum tapi keluhan tidak berkurang.

Apa rasanya masih kelas 3 SMA dan harus pergi ke dokter spesialis jantung? Takut. Pastinya. Apalagi saya harus menjalani EKG, minggu depannya juga echocardiografi, semuanya sempat membuat saya stress. Kemungkinan bahwa saya harus menggunakan obat-obat yang sekarang saa tahu bahwa itu adalah obat-obat untuk penderita gagal jantung, juga membuat saya sempat down. Obat-obatan itu antara lain: bisoprolol, ace-inhobitor dan hidroclortiazid + spironolacton.

Atas pertimbangan dokter spesialis jantung saya bahwa saya "akan baik-baik saja" sekalipun saya tetap ingin melanjutkan sekolah di fakultas kedokteran, maka sayapun meneruskan sekolah di Fakultas Kedokteran.

Keluhan semakin bertambah seiring dengan semakin padatnya jadwal kuliah saya. Jadwal kunjungan ke dokter spesialis juga jadi lebih sering dan selalu berakhir dengan penambahan analgetik saja. Tidak ada jalan keluar lain. Mulai dari paracetamol, asam mefenamat, naik ke piroxicam lalu meloxicam dan terakhir... ya sudahlah, yang terakhir tidak perlu saya sebutkan nama obatnya. Yang jelas, obat analgetik poten. Analgetik nomor satu. 

Di pertengahan semester, adalah masa paling berat dalam hidup saya. Saya ganti dokter dan banyak sekali perubahan terapi dan yang paling menyakitkan adalah tidak mudah melepas beberapa jenis obat yang sudah saya pakai selama bertahun-tahun. Gejala putus obat membuat saya kadang merasa putus asa.

Ketika masuk ke dunia kepaniteraan, dengan jadwal kegiatan yang semakin menguras energi, saya pun lebih sering kambuh, padahal setiap hari sudah mengonsumsi obat penghilang sakit. Kadang teringat bagaimana saya nyaris melampaui batas maximal obat-obat penghilang sakit saking begitu sakitnya dada saya (chest pain). 

Saat saya sudah tidak tahan dengan chest pain tersebut, saya putuskan untuk berobat ke spesialis penyakit dalam (kebetulan tidak ada spesialis jantung) di rumah sakit tempat saya tengah menjalani kepaniteraan klinik. Sangat kecewa karena dokter bilang saya ini stress. Saya sampai berpikir, sebegitu lemahkah mental saya? Masa stress saja sampai mencetuskan nyeri dada yang begitu tak tertahankan? Dan yang diberikan kepada saya malah obat-obat lambung, analgetik dan bahkan alprazolam. Saya baru stase pertama dan rasanya sedih sekali, masa iya saya begitu tak tahan banting? Kenapa saya harus ketemu lagi dengan alprazolam setelah hampir dua tahun berpisah? 

Selesai kepaniteraan stase pertama, saya kembali ke Jakarta dan mengajukan cuti satu minggu sebelum melanjutkan stase. Saya kembali menemui dokter spesialis penyakit dalam (konsultan kardiovaskular). Dan hari itu dokter bilang, "kita cek lab dulu ya.." Selain darah lengkap, salah satu pemeriksaan yang dicentangnya adalah ASTO.


Lima jam setelah pengambilan darah, saya mendapatkan kertas hasilnya yang menuliskan
hal-hal yang sungguh membuat tangan saya gemetar seketika itu juga. Di sana tertuliskan Leukosit saya 12.000 dan ASTO saya 400..............


Sebagai seorang dokter muda, saya tahu sekali apa artinya ASTO > 200. Saya tahu sekali, hanya saja saya masih berusaha menutupi apa yang saya tahu. Saya ingin menangis sebenarnya, tapi tak sampai hati. Ada mama di samping saya. Mama tanya, "Apa artinya ASTO 400?? Itu kenapa lebihnya sampai dua kali lipat?" Saya hanya bisa senyum sambil bilang, "Ada banyak kemungkinan sih, ya nggak tahu besok dokternya bilang apa." Padahal jujur di dalam hati, saya sudah ketakutan setengah mati.


Semalaman saya tidak bisa tidur. Pikiran saya hanya pada soal hasil pemeriksaan darah itu. ASTO 400 dengan keluhan jantung saya, tidakkah itu artinya reumatic heart disease? Ya Tuhan, kenapa harus saya? Saya tahu apa itu Reumatic Heart Disease, tapi itu seharusnya hanya ada di textbook! Hanya ada di soal-soal ujian interna di kampus, bukan di dalam diri saya! Saya teringat akan kriteria Jones, suatu kriteria yang digunakan untuk menegakkan diagnosis Penyakit Jantung Rematik dan setelah saya baca kembali, sesuai dengan keadaan saya, tapi tak pernah saya berpikir ke arah sana. Sama sekali tidak pernah. Hanya selalu terpaku pada Mitral Valve Prolapse.


Seandainya pun benar bahwa saya mengidap reumatic heart disease (RHD), berarti saya harus terapi penisilin dong? Harus suntik penisilin sebulan sekali? Saya benar-benar tak sanggup membayangkan. Rasanya dunia saya jungkir balik dalam semalam hanya karena soal ASTO!


Esok paginya saya kembali ke rumah sakit seorang diri dan membawa hasil laboratorium ke depan internist saya dan dia pun langsung bilang, "morin, ini reumatic heart disease! Koq bisa ASTO mu sampai 400!" dan saya tak mampu menahan air mata yang tiba-tiba saja menggenang di kelopak mata. "Saya nggak pernah tahu kalau selama ini kamu belum pernah cek ASTO. Ini benar-benar yang pertama kali?" Saya mengangguk lemah. Entah kenapa, hari ini internist saya nggak terlalu galak, mungkin dia lihat saya sudah sangat terpukul. Saya menyusut air mata yang sudah mulai mengalir dari kelopak mata. 


"Nggak apa-apa, Morin. Kita obati ya? Kan sekarang jadi sudah tahu apa penyebab chest pain mu selama ini." katanya penuh empati. Ia lalu menelepon bagian apotek dan menanyakan soal penisilin. Ternyata tidak tersedia.

"Harus ya dok, penisilinnya? Tiap bulan?"

"Iya. Kamu tahu kan terapinya?"

Saya mengangguk, "Nggak ada jalan lain?"

"Ya memang itu obatnya, Morin. Nanti saya coba tanyakan ke RSCM ya. Mana pin BB kamu, kasih ke saya, nanti saya bbm, saya tanyakan dulu ke teman saya di RSCM apa masih ada Penisilin di sana."

Saya pulang dan menangis sepanjang perjalanan pulang. Saya marah, tapi tidak tahu harus marah kepada siapa. Kenapa nggak sejak awal ketahuan kalau saya punya RHD? kenapa harus sepanjang ini jalannya?

Benzatin Benzil Penisilin 2,4 juta IU yang harus saya pakai akhirnya saya dapatkan di RSCM. Saya sempat menyesali, kenapa saya nggak alergi Penisilin? Dari sekian banyak orang yang alergi Penisilin, kenapa saya nggak termasuk di dalamnya? Sakitnya bukan main disuntik Penisilin secara IM. Dan sakitnya pun berhari-hari.

Saya langsung trauma, apalagi saya sempat merasakan kesulitan berjalan karena sakit bukan main setelah suntik Penisilin. Saya lalu "ngambek" dan nggak mau lagi lanjutkan terapi. Mana bisa saya harus menhadapi resiko "tidak bisa jalan" padahal saya sedang stase! Mana ada stase yang dikasih izin libur seminggu hanya karena saya harus suntik penisilin.

Sampai saat ini, sampai detik ini (hari kedua setelah saya suntik Penisilin 1,2 juta IU) saya masih belum bisa terima sepenuhnya bahwa saya harus memasukkan penisilin tiap dua minggu sekali (karena dosis saya bagi dua). Saya selalu trauma dengan rasa sakitnya. Bahkan dua kali opname karena serangan akut tak membuat saya jera. Saya jauh lebih takut disuntik penisilin IM daripada ditusuk jarum infus atau bahkan harus ditusuk setiap hari untuk memasukkan analgetik iv karena chest pain yang sering kambuh kalau saya sedang lelah. 

Tapi sekarang mungkin saya sudah lebih "ya sudahlah..." pasrah saja. Yang penting saya selalu buat perjanjian dengan dokter yang menyuntik, "dok, kalau sakit, tolong jangan dilanjutkan.." karena sekarang penisilin itu dicampur lidocain, jadi seharusnya tidak sakit, kalau masih sakit, artinya lokasi suntiknya yang salah. Dan ada seseorang yang sekarang marah-marah kalau saya nggak mau suntik. Dua hari lalu bahkan saya baru kena omelannya setengah jam. But i know, he cares...


Masih panjang perjalanan, masih sangat panjang. Saya masih butuh semangat, sebab saya tak mampu jalan sendirian. Saya masih butuh dukungan dan saya masih selalu butuh pelukan setiap kali habis suntik, setidaknya sebuah pelukan mengatakan pada saya, "Sabarlah, sayang, semua ini akan berlalu. Aku tahu pelukan ini tidak akan mengurangi rasa sakitmu, tapi setidaknya kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian. Ada aku yang mengerti kalau ini semua nggak enak.."

Suatu hari, saya percaya, semua ini ada ujungnya. Suatu hari, saya tahu saya akan sampai di garis finish. Tapi saat ini, setidaknya berikanlah saya sebuah pelukan atau minimal genggamlah tangan saya saat saya harus merasakan pedihnya ditusuk jarum, saya bosan cuma bisa menggenggam pinggiran bed tindakan.


2 komentar:

  1. Assalamualaikum dokter morin. Salam kenal. Sya mengalami hal serupa dgn yg anda rasakan. Bahkan sekarang sya merasakan sakit efek injeksi im benzatin penicilin. Skrg mood sya lg benar2 down krn hasil asto sya malah meningkat padahal sya sdh menjalani terapi injeksi + oral. Sya tdk Tau sampai kapan bakteri ini akan benar2 hilang.

    BalasHapus
  2. dok... share dong perkembangan rematik jantungnya? biar penderita lainnya juga bisa menghadapi dan menangani penyakit tsb, suami saya ASTO nya 400, LED 20 diagnosa AF, RHD dan MR ringan, sejak mengalami serangan jadi mudah lelah, jantung berdegup lebih sering, mudah pusing... pdhal sudah menjalani terapi oral skitar 3 bln tapi ASTO masih belum turun jg...

    BalasHapus