Jumat, 02 Agustus 2013

Kesempatan (pernah) Ada

3 Agustus 2013


Kepada Matahari......


Apa menurutmu lucu ketika kita saling melihat satu sama lain dan saling menunjukkan ego? Apakah menurutmu ini sebuah permainan? Bahwa sebenarnya hati kita sama-sama terluka? Tertikam oleh kemelut yang sekian tahun kita bangun dan robohkan sendiri? Apakah menurutmu ini masuk di akal? Bahwa kita saling mempertontonkan hal yang diam-diam ingin kita terabas jauh di dasar hati?

Aku pernah meminta kesempatan seperti bertahun-tahun silam engkau memohon untuk diberikan kesempatan, tapi kesempatan yang kesekian kali memang tidak pernah tiba. Kita cuma bermain-main dalam labirin waktu yang tidak pernah kita perhitungkan kapan akan selesai.

Matahari,
Apa kau sama terlukanya denganku? Kalau tidak, mengapa rongrongan ini datang bertubi setelah sekian lama aku tak mendengar seluruh riuh kabarmu. Kita mencari, kita menemukan, tapi kita tak pernah saling rela untuk melepaskan. Ya kan?

Ya, aku sendiri terpuruk, dalam jeram yang entah di mana muaranya. Aku tahu bahwa butuh perjuangan dan kerelaan untuk berani tak menatap lagi ke masa lalu, tapi perkara perasaan, mengapakah sulit sekali? Aku hanya berpikir, mengapa setelah sekian lama, aku harus tiba-tiba takut kalau kau ada di sana, di sebuah gereja kecil, tempat kita biasa duduk berdua dan memadahkan Bapa Kami? Apa kau hadir di Ibadah Ekaristi minggu sore ini? 

Aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus takut berdahapan denganmu. Mungkin, aku takut untuk menyapa, takut tidak tahu harus berbuat apa. Apa kita harus berbasa-basi dan saling tersenyum lalu duduk terpisah atau duduk bersisian seperti biasanya. Aku tak mau terlalu banyak berspekulasi, jadi, lebih baik aku tak bertemu denganmu.

Aku pernah menuliskan kepadamu, "Matahari, semua orang menginginkan payung yang bagus, payung yang cantik, tapi ketika hujan datang, berapa banyak dari payung yang cantik itu yang tetap bertahan? Yang mampu tetap melindungimu dari terpaan angin dan derasnya air yang menerpamu? Yang satu mungkin patah karena jerujinya tidak kuat, yang lain mungkin koyak, sebab bukan kain yang bagus untuk dijadikan payung. Cantik itu luka, Sayang. Ketika hujan, orang tak akan melihat soal apakah payung yang kaubuka cantik atau tidak. Mereka tidak memperhatikan soal warna payungmu. Mereka hanya akan melihat payung itu dapat melindungimu atau tidak. Kau akan ditertawakan orang bila memilih payung cantik tapi tak bisa kau pakai untuk melindungi dirimu di saat hujan. Orang akan bilang kau membuang-buang uang hanya untuk payung yang terlihat cantik tapi sebenarnya tak ada gunanya."




Aku mengerti betul, hampir tidak mungkin kita bisa menyusuri jalan yang sama, walaupun kedepannya aku tak tahu apa rencana Tuhan. Tapi, pilihlah payung yang kuat dan mampu melindungimu. Jangan lagi membuang-buang uang hanya demi sebuah payung cantik yang bisa kau pamerkan hanya saat hari biasa, sedangkan saat hujan kau ragu membukanya, karena kau tahu payung itu rapuh.

Aku merasakan jerit pilu yang sama, yang senada dan yang masih tersisa di sudut hati. Tapi terkadang kta harus menghadapi yang bukan pilihan kita. Ya kan, Matahari?

Kesempatan (pernah) ada, dan kita sudah banyak menghabiskannya dengan terlunta-lunta mempermainkan perasaan masing-masing. Aku mengalah, Matahari. Maaf, kalau kemarin menyalakan sumbu cemburu di relung hatimu. Maaf kalau aku menyulut penyesalan yang tiba-tiba merambat di hati masing-masing. Aku sungguh tak tahu sampai sejauh apa kita mampu saling tersenyum dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar