Sabtu, 27 Juli 2013

12 Stase 12 Kenangan (Bagian Tiga)

Stase Delapan- Ilmu Kesehatan Anak, RS Mardi Waluyo, Metro, Lampung

Aku girang bukan main ketika pengumuman stase menuliskan namaku di RS Mardi Waluyo (RS MW). Aku bahkan sampai loncat-loncat di dalam kamar saking senangnya akan kembali ke Lampung. Rasanya seperti mimpi. Setiap malam aku berdoa, semoga tidak ada ralat untuk namaku. Benar-benar ingin kembali ke Metro.

Lampung sekarang bukan lagi kota yang asing buatku. Kembali ke sini selalu membuatku serasa kembali ke kampung halaman sendiri. Aku bersyukur kembali ke Metro, ke kota kecil yang paling aku suka sepanjang menjalani masa kepaniteraan klinik ini.

Aku paling senang jaga di IGD di RS ini. Rasanya tiada hari aku lewati tanpa aku main ke Instalasi Gawat Darurat. Pasien di IGD sekarang makin banyak saja, berbeda dengan saat pertama kali aku ditempatkan di sini.

Aku senang bertugas di bagian anak, karena aku memang senang dengan anak kecil. Di bangsal, aku senang main dengan pasien-pasienku. Di stase ini, saku snelli ku selalu penuh dengan biskuit dan cokelat. Berasa jadi Santa Clauss. Tapi aku senang saja melakukannya. Kadang suka lucu melihat senyum anak-anak kecil itu. Kalau di ruang perina, aku senang gendong bayi-bayi yang baru lahir. Ditimang-timang sampai mereka tidur pulas. Kalau di Poliklinik, aku senang main dengan pasien-pasien anak. Keahlian sekaligus tugas utamaku, membuat anak-anak itu tenang saat masuk poli anak. Sembilan puluh sembilan persen sih berhasil. Nggak sulit koq menenangkan anak-anak. Cukup buat mereka percaya bahwa kita nggak berniat menyakiti mereka dan bermaksud berteman. Mereka pasti langsung luluh hatinya.




Hanya saja, yang sedikit menghambat tugasku sebagai koasisten bagian anak adalah karena aku memberhentikan terapi, akibatnya jantung mulai ikut-ikutan kecapekan. Hampir setiap hari terpaksa harus masuk ketorolac iv belakangan malah novalgin, hanya demi mengurangi rasa sakit untuk aku tetap bisa bekerja seperti biasa.

Sayangnya, di minggu kelima, setelah tiga bulan lebih memberhentikan terapi rutinku, kondisi kesehatanku benar-benar drop dan untuk kedua kalinya sepanjang kepaniteraan, aku harus merasakan opname kembali. Kali ini lebih parah dari yang sebelumnya. Aku harus istirahat total selama empat hari.

Pengalaman tak terlupa di stase ini tentulah saat-saat ikut jaga malam. Di RS ini, koass tidak perlu jaga malam hingga pagi. Kewajiban kami hanya jaga sore. Tapi, karena waktu itu sedang libur dan aku tidak pulang ke Bekasi, aku memutuskan untuk ikut jaga malam. Sering bekerja di IGD membuatku hafal di luar kepala alur kerja atau protokol apa saja yang harus dilakukan setiap kali ada pasien gawat. Benar-benar jadi pelajaran berharga sekaligus memperkaya pengalamanku. Banyak kesempatan untuk melakukan tindakan yang diberikan kepadaku dan banyak hal baru yang aku pelajari di sini. Saking selalu ke IGD, IGD sudah serasa kost kedua. Barang-barang ditaroh di loker IGD, makan, istirahat, semuanya di IGD. Simpelnya, kalau belum diusir pulang, belum pulang dari IGD. Selalu berkesan jaga bareng Kak Remi, Kak Ratna, Kak Tere, Bang Hendra, Mas Agus, Mas Nunu, Kak Eva, Kak Ciwi, Mas Wayan, Mas Yoga, Mas Andre, Mas Wawan, Mas Adji, Mas Yos, Mas Made, Kak Iges dan Mbak Yeti. Sepanjang masa kepaniteraan, inilah personil IGD yang paling segala-galanya. Paling baik, paling gila sekaligus paling aneh-aneh. I miss all of them!



Di stase ini juga, di minggu kesembilan, saat aku tengah ikut dinas malam, aku pertama kali berkenalan dengan laki-laki yang kini jadi seseorang yang spesial di hatiku. Seorang perawat yang tengah malam merujuk pasien dgn kondisi yang gawat sudah itu pakai acara ngerjain koass paling cantik yang lagi ngantuk berat pula. Hehehe.

Dan inilah stase yang seminggu sebelum waktu kepulangan saja aku sudah nangis-nangis bombay karena tak mau pulang. Apalagi semalam sebelum kepulangan. Banjir air mata di IGD saking nggak ingin pergi dari Metro. Pagi hari menjelang pulang saja, masih mampir dulu ke IGD dan bikin aku nyaris ketinggalan pesawat.



Stase Sembilan- Radiologi, RS Harapan, Depok


Meninggalkan Metro dan kembali ke Depok itu rasanya sesuatu banget. Badan memang di Depok, tapi hati, pikiran dan jiwa semuanya masih di Metro. Masih belum percaya kalau nggak bisa lagi jaga IGD sama-sama. Rutinitas yang begitu berubah drastis. Yang biasanya mondar-mandir di IGD, sekarang lebih banyak diam saja di ruang Radiologi.

Tapi, dua minggu memang tidak terasa. Cepat sekali rasanya waktu berlalu. Tahu-tahu saja sudah selesai. Tidak ada kesan yang terlalu mendalam. Tidak ada kenangan yang terlalu berkesan.



Tapi belajar Radiologi dengan bimbingan dr Surjadi, Sp. Rad sangat menyenangkan. Termotivasi harus bisa, apalagi sering banget disuruh maju buat baca foto. Kadang jadi stress sendiri lihat foto, tapi ya kalau disuruh maju, maju saja, biasanya kalau ditunjuk seperti itu, jadi lebih ingat nantinya. Terbukti koq saat ujian. Aku bisa jawab foto yang pernah aku baca di depan beliau sebelumnya.

Karena stase ini Jakarta dan sekitarnya dilanda hujan dan banjir, sempat dua hari kami diliburkan. Akan tetapi, dokter kami menggantinya dengan bimbingan di hari Minggu. Terharu yaa.. Baik sekali dokter radiologi kami ini, mau meluangkan waktunya hanya untuk mengajar kami. Datang ke Depok naik comutter hanya demi mengajar kami para koasistennya. Dedikasi yang luar biasa.



Stase Sepuluh- Forensik, RSCM, Jakarta

Satu lagi stase yang saat baca nama di pengumuman stase bikin nggak bisa tidur semalaman. Hore! F.O.R.E.N.S.I.K! Dari dulu, kalau ditanya "Mau ambil spesialis apa?" maka aku akan dengan bersemangat menjawab" spesialis forensik." walaupun setelah itu orang yang nanya akan melongo bingung. Tapi ya memang itulah cita-citaku, jadi dokter spesialis Forensik.

Kenapa senang Forensik? Karena bidang ini menantang! Bidang ini juga membuat kita tak hanya fokus sisi medis saja, tapi bisa terjun ke ranah hukum, sosial bahkan berbagai kepentingan politik. Aku memang bukan sepenuhnya orang sains kan? Aku seorang sosial, lebih senang ilmu sosial, tapi terjun ke dunia medis. Tapi sekarang banyak keuntungannya koq buatku. Tak ada yang aku sesali.

Yang bikin lebih senang, aku ditempatkan di Forensik RSCM, artinya bisa bertemu lagi dengan dr Abdul Mun'im Idris, Sp. F atau yang lebih sering aku panggil dengan dr AMI. Aku sudah kenal beliau sejak dua tahun yang lalu, sebelum aku menjadi koass. Sebuah perkenalan yang tak disengaja. Aku ngefans berat dengan ahli Forensik yang satu ini dan hal itulah yang akhirnya membuatku bisa bertemu dengannya dua tahun silam. Sekarang akan bertemu lagi, tapi statusku sudah jadi koasisten.

Hari pertama datang, aku sudah bertemu lagi dengan dr AMI. Sudah lama kami tak berjumpa. Kami ngobrol-ngobrol sejenak sebelum kuliah bimbingan dimulai. Hari-hari berikutnya pun demikian. Kalau ada waktu senggang, aku senang mendengar cerita-cerita beliau di ruang kerjanya tentang pengalamannya selama bertugas menjadi dokter Forensik. Pengalaman yang menurutku keren banget.

Selama dua minggu ini, hanya satu kali dapat kesempatan autopsi, dan itu jadi pengalaman tak terlupa. Semangat sekali waktu pemeriksaan, tak sadar bahwa bau jenazahnya bertahan terus sekalipun sudah mandi dan sudah dua puluh kali cuci tangan pakai sabun! Akhirnya, aku harus luluran, creambath dan tangan diuap (seperti disauna) baru bau jenazah yang melekat hilang dari badan.



Dalam dua minggu ini juga, kebetulan dapat satu kali kesempatan jaga malam dengan dr AMI. Rasanya seru saja. Impianku selama stase. Siapa tak senang bisa jaga malam dengan dokter idolanya. Buatku, inilah salah satu stase paling meninggalkan kesan. Stase impian. Stase yang aku tunggu jauh bahkan sebelum aku memulai kepaniteraanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar