12 Stase 12 Kenangan (Bagian Tiga)
Stase Delapan- Ilmu Kesehatan Anak, RS Mardi Waluyo, Metro, Lampung
Aku
girang bukan main ketika pengumuman stase menuliskan namaku di RS Mardi
Waluyo (RS MW). Aku bahkan sampai loncat-loncat di dalam kamar saking
senangnya akan kembali ke Lampung. Rasanya seperti mimpi. Setiap malam
aku berdoa, semoga tidak ada ralat untuk namaku. Benar-benar ingin
kembali ke Metro.
Lampung sekarang bukan lagi kota yang asing
buatku. Kembali ke sini selalu membuatku serasa kembali ke kampung
halaman sendiri. Aku bersyukur kembali ke Metro, ke kota kecil yang
paling aku suka sepanjang menjalani masa kepaniteraan klinik ini.
Aku
paling senang jaga di IGD di RS ini. Rasanya tiada hari aku lewati
tanpa aku main ke Instalasi Gawat Darurat. Pasien di IGD sekarang makin
banyak saja, berbeda dengan saat pertama kali aku ditempatkan di sini.
Aku
senang bertugas di bagian anak, karena aku memang senang dengan anak
kecil. Di bangsal, aku senang main dengan pasien-pasienku. Di stase ini,
saku snelli ku selalu penuh dengan biskuit dan cokelat. Berasa jadi
Santa Clauss. Tapi aku senang saja melakukannya. Kadang suka lucu
melihat senyum anak-anak kecil itu. Kalau di ruang perina, aku senang
gendong bayi-bayi yang baru lahir. Ditimang-timang sampai mereka tidur
pulas. Kalau di Poliklinik, aku senang main dengan pasien-pasien anak.
Keahlian sekaligus tugas utamaku, membuat anak-anak itu tenang saat
masuk poli anak. Sembilan puluh sembilan persen sih berhasil. Nggak
sulit koq menenangkan anak-anak. Cukup buat mereka percaya bahwa kita
nggak berniat menyakiti mereka dan bermaksud berteman. Mereka pasti
langsung luluh hatinya.
Hanya
saja, yang sedikit menghambat tugasku sebagai koasisten bagian anak
adalah karena aku memberhentikan terapi, akibatnya jantung mulai
ikut-ikutan kecapekan. Hampir setiap hari terpaksa harus masuk ketorolac
iv belakangan malah novalgin, hanya demi mengurangi rasa sakit untuk
aku tetap bisa bekerja seperti biasa.
Sayangnya, di minggu
kelima, setelah tiga bulan lebih memberhentikan terapi rutinku, kondisi
kesehatanku benar-benar drop dan untuk kedua kalinya sepanjang
kepaniteraan, aku harus merasakan opname kembali. Kali ini lebih parah
dari yang sebelumnya. Aku harus istirahat total selama empat hari.
Pengalaman
tak terlupa di stase ini tentulah saat-saat ikut jaga malam. Di RS ini,
koass tidak perlu jaga malam hingga pagi. Kewajiban kami hanya jaga
sore. Tapi, karena waktu itu sedang libur dan aku tidak pulang ke
Bekasi, aku memutuskan untuk ikut jaga malam. Sering bekerja di IGD
membuatku hafal di luar kepala alur kerja atau protokol apa saja yang
harus dilakukan setiap kali ada pasien gawat. Benar-benar jadi pelajaran
berharga sekaligus memperkaya pengalamanku. Banyak kesempatan untuk
melakukan tindakan yang diberikan kepadaku dan banyak hal baru yang aku
pelajari di sini. Saking selalu ke IGD, IGD sudah serasa kost kedua.
Barang-barang ditaroh di loker IGD, makan, istirahat, semuanya di IGD.
Simpelnya, kalau belum diusir pulang, belum pulang dari IGD. Selalu
berkesan jaga bareng Kak Remi, Kak Ratna, Kak Tere, Bang Hendra, Mas
Agus, Mas Nunu, Kak Eva, Kak Ciwi, Mas Wayan, Mas Yoga, Mas Andre, Mas
Wawan, Mas Adji, Mas Yos, Mas Made, Kak Iges dan Mbak Yeti. Sepanjang
masa kepaniteraan, inilah personil IGD yang paling segala-galanya.
Paling baik, paling gila sekaligus paling aneh-aneh. I miss all of them!
Di
stase ini juga, di minggu kesembilan, saat aku tengah ikut dinas malam,
aku pertama kali berkenalan dengan laki-laki yang kini jadi seseorang
yang spesial di hatiku. Seorang perawat yang tengah malam merujuk pasien
dgn kondisi yang gawat sudah itu pakai acara ngerjain koass paling
cantik yang lagi ngantuk berat pula. Hehehe.
Dan inilah
stase yang seminggu sebelum waktu kepulangan saja aku sudah
nangis-nangis bombay karena tak mau pulang. Apalagi semalam sebelum
kepulangan. Banjir air mata di IGD saking nggak ingin pergi dari Metro.
Pagi hari menjelang pulang saja, masih mampir dulu ke IGD dan bikin aku
nyaris ketinggalan pesawat.
Stase Sembilan- Radiologi, RS Harapan, Depok
Meninggalkan
Metro dan kembali ke Depok itu rasanya sesuatu banget. Badan memang di
Depok, tapi hati, pikiran dan jiwa semuanya masih di Metro. Masih belum
percaya kalau nggak bisa lagi jaga IGD sama-sama. Rutinitas yang begitu
berubah drastis. Yang biasanya mondar-mandir di IGD, sekarang lebih
banyak diam saja di ruang Radiologi.
Tapi, dua minggu memang
tidak terasa. Cepat sekali rasanya waktu berlalu. Tahu-tahu saja sudah
selesai. Tidak ada kesan yang terlalu mendalam. Tidak ada kenangan yang
terlalu berkesan.
Tapi
belajar Radiologi dengan bimbingan dr Surjadi, Sp. Rad sangat
menyenangkan. Termotivasi harus bisa, apalagi sering banget disuruh maju
buat baca foto. Kadang jadi stress sendiri lihat foto, tapi ya kalau
disuruh maju, maju saja, biasanya kalau ditunjuk seperti itu, jadi lebih
ingat nantinya. Terbukti koq saat ujian. Aku bisa jawab foto yang
pernah aku baca di depan beliau sebelumnya.
Karena stase ini
Jakarta dan sekitarnya dilanda hujan dan banjir, sempat dua hari kami
diliburkan. Akan tetapi, dokter kami menggantinya dengan bimbingan di
hari Minggu. Terharu yaa.. Baik sekali dokter radiologi kami ini, mau
meluangkan waktunya hanya untuk mengajar kami. Datang ke Depok naik
comutter hanya demi mengajar kami para koasistennya. Dedikasi yang luar
biasa.
Stase Sepuluh- Forensik, RSCM, Jakarta
Satu
lagi stase yang saat baca nama di pengumuman stase bikin nggak bisa
tidur semalaman. Hore! F.O.R.E.N.S.I.K! Dari dulu, kalau ditanya "Mau
ambil spesialis apa?" maka aku akan dengan bersemangat menjawab"
spesialis forensik." walaupun setelah itu orang yang nanya akan melongo
bingung. Tapi ya memang itulah cita-citaku, jadi dokter spesialis
Forensik.
Kenapa senang Forensik? Karena bidang ini menantang!
Bidang ini juga membuat kita tak hanya fokus sisi medis saja, tapi bisa
terjun ke ranah hukum, sosial bahkan berbagai kepentingan politik. Aku
memang bukan sepenuhnya orang sains kan? Aku seorang sosial, lebih
senang ilmu sosial, tapi terjun ke dunia medis. Tapi sekarang banyak
keuntungannya koq buatku. Tak ada yang aku sesali.
Yang bikin
lebih senang, aku ditempatkan di Forensik RSCM, artinya bisa bertemu
lagi dengan dr Abdul Mun'im Idris, Sp. F atau yang lebih sering aku
panggil dengan dr AMI. Aku sudah kenal beliau sejak dua tahun yang lalu,
sebelum aku menjadi koass. Sebuah perkenalan yang tak disengaja. Aku
ngefans berat dengan ahli Forensik yang satu ini dan hal itulah yang
akhirnya membuatku bisa bertemu dengannya dua tahun silam. Sekarang akan
bertemu lagi, tapi statusku sudah jadi koasisten.
Hari pertama
datang, aku sudah bertemu lagi dengan dr AMI. Sudah lama kami tak
berjumpa. Kami ngobrol-ngobrol sejenak sebelum kuliah bimbingan dimulai.
Hari-hari berikutnya pun demikian. Kalau ada waktu senggang, aku senang
mendengar cerita-cerita beliau di ruang kerjanya tentang pengalamannya
selama bertugas menjadi dokter Forensik. Pengalaman yang menurutku keren
banget.
Selama dua minggu ini, hanya satu kali dapat kesempatan
autopsi, dan itu jadi pengalaman tak terlupa. Semangat sekali waktu
pemeriksaan, tak sadar bahwa bau jenazahnya bertahan terus sekalipun
sudah mandi dan sudah dua puluh kali cuci tangan pakai sabun! Akhirnya,
aku harus luluran, creambath dan tangan diuap (seperti disauna) baru bau
jenazah yang melekat hilang dari badan.
Dalam
dua minggu ini juga, kebetulan dapat satu kali kesempatan jaga malam
dengan dr AMI. Rasanya seru saja. Impianku selama stase. Siapa tak
senang bisa jaga malam dengan dokter idolanya. Buatku, inilah salah satu
stase paling meninggalkan kesan. Stase impian. Stase yang aku tunggu
jauh bahkan sebelum aku memulai kepaniteraanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar